Ahmad Wahib : Telaah Kritis “Pergolakan Pemikiran Islam”

Mengenang Sosok Ahmad Wahib

Sosok Ahmad Wahib selalu diidentikkan dengan nilai-nilai liberalisme, pluralisme, dan humanisme. Wahib adalah sesosok pribadi yang teguh dalam ‘mengembarakan pemikirannya’ dengan sebebas-bebasnya. Keresahan-keresahan Wahib telah mengantarkan pemikirannya pada puncak rasionalisme-eksistensialistik yang berusaha mendestruksi seluruh kenyataan-kenyataan yang bersumber pada dogmatisme. Bagi Wahib kenyataan harus mampu dibaca dengan kesadaran yang dibangun di atas rasionalisasi seluruh prinsip-prinsip kehidupan.

Rasionalisme-eksistensialis selalu mencari ruang untuk hadirnya individu dalam setiap realitas kompleks dan mengajarkan tafsir individu sebagai garis mutlak yang tidak bisa dihancurkan dengan penyeragaman makna. Ahmad wahib berusaha mereproduksi dirinya sebagai sosok eksistensialis yang ada dalam makna-makna yang dinamis dan tidak berpijak pada kemutlakan hasil, melainkan proses.

Memahami sosok Wahib mungkin bisa dikomparasikan dengan sosok lain segenerasinya, misalnya Soe Hok Gie. Dua tokoh muda ini lahir pada generasi yang sezaman, tetapi keduanya berada pada latar belakang dan kiprah yang berbeda. Gie yang kita kenal lahir dari keluarga intelektual Tionghoa. Dalam keseluruhan proses hidupnya, Gie berusaha melawan pragmatisasi politik. Gie sangat tekun mendalami berbagai persoalan politik kontemporer dan sangat jengah dengan perbedaan ideologi yang melahirkan garis demarkasi sesama anak bangsa. Gie menginginkan
satu kehidupan pluralis yang bisa menaungi segala prinsip-prinsip tanpa kemunafikan atau “mereka hanya mengatasnamakan ideologi untuk memperteguh syahwat kekuasaannya”. Maka, kiprah Gie sebagai tokoh gerakan mahasiswa “Gemasos” (Gerakan Mahasiswa Sosialis – Red.) dan kedekatannya dengan tokoh-tokoh politik oposisi menjadikannya orang yang dianggap paling berbahaya bagi status quo.

Berbeda dengan Gie, Ahmad wahib lahir dari keluarga santri tradisional. Ia merasa seluruh kesadarannya pada segala realitas memerlukan rasionalisasi. Ia bukan sosok seperti Gie yang hidup dalam dinamika politik. Sosok Wahib identik dengan kiprahnya sebagai sosok pengader di HMI Cabang Yogyakarta. Ia selalu meresahkan segala hal yang dilihatnya tidak rasional dalam perilaku beragama umat Islam. Keresahannya didasarkan pada kekakuan dan kejumudan pada dogmatisasi agama yang mengantarkan agama tidak lagi menjadi wahana penyadaran dan bangunan prinsip moral, melainkan sekedar menjadi alat legitimasi politik kekuasaan. Agama sering direproduksi oleh tokoh-tokoh Islam sebagai alat mobilisasi untuk menghadapi lawan-lawan politiknya. Ahmad wahib bukan orang yang banyak terlibat dalam perdebatan politik praksis. Ia lebih tertarik pada filsafat agama yang mengantarkannya berpikir tajam bagaimana menempatkan prinsip-prinsip agama dalam kehidupan yang kontekstual.

Pergolakan Pemikiran Islam dalam Ruang Gagasan

Wahib selalu mereproduksi gagasannya dalam ruang-ruang terbatas yang cukup intim, bukan pada khalayak luas. Limited group yang dibentuknya beranggotakan Dawam Rahardjo dan Djohan Effendi serta dimentori oleh Mukti Ali. Reproduksi gagasan yang sangat intim dilakukannya dalam kelompok ini. Di lain sisi, seringkali Wahib menantang pemikiran-pemikirannya dalam forum-forum pelatihan kader di HMI. Sosoknya sebagai konseptor dan pengader berhasil menerjemahkan prinsip-prinsip dalam lingkaran kultur dan tradisi organisasi yang digelutinya. Namun, kegelisahannya sebagai pribadi memang sangat sulit dipahami secara utuh tanpa melihat konteks di mana ia hidup.

Wahib sempat hidup bersama para romo Katolik di Asrama Realino (dekat kampus Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta – Red.). Dia sangat banyak menyerap gagasan moralis dan humanistik dari kalangan gereja Katolik yang berusaha membangunkan agama sebagai landasan moral publik. Di sisi lain, kedirian Wahib sebagai seorang muslim dan aktivis HMI identik dengan keseluruhan pilihan sikapnya. Hal ini baginya agak sulit diterima. Ia menyadari banyak perbedaan signifikan antara idealita yang ia resahkan dengan praksis pilihan-pilihan sikap kawan-kawannya, baik dalam politik maupun dalam praksis pemahaman beragama.

Dalam memahami Wahib sangat penting untuk dilihat apa, di mana, dan kapan pemikirannya ditelurkan. Wahib mungkin bukanlah pemikir yang telah selesai. Ia benar-benar orang yang resah dalam mencari hakikat hidupnya sebagai hamba Allah dalam menempatkan diri dengan berbagai perubahan realitas yang begitu cepat. ahmad wahib mengalami dekade ‘60-‘70-an yang memuat banyak pergolakan sosial dan politik yang dramatis. Di seputaran G 30 S, munculnya konflik ideologi telah menyeret Islam sebagai salah satu alat untuk menghabisi ideologi lain, termasuk menjadi legitimasi untuk membenarkan pembunuhan pada mereka yang tak berdosa atas nama agama. Keresahan ini menyelimuti pola pikir Wahib untuk membangun satu konsepsi Islam yang butuh diterjemahkan ulang secara individual agar setiap individu menemukan makna atas keberislamannya yang otentik, bukan semata-mata tafsir atau dogma dari orang-orang di sekitarnya.

Pemikiran Wahib dalam buku Pergolakan Pemikiran Islam mungkin bukanlah satu rangkaian utuh yang terstruktur rapi. Wahib menuliskannya dalam lembar-lembar catatan harian, jelas siapa pun tahu catatan harian bukan konsumsi publik, bahkan sesuatu yang sangat intim bagi manusia dan lingkaran terdekatnya. Walaupun ada beberapa tulisan dan argumentasi yang tajam, tetapi ini memiliki ruang personalitas yang tinggi. Hal ini menunjukan bahwa Wahib bukanlah sosok intelektual yang genit, tetapi ia berusaha menerobos apapun yang dianggapnya bebal untuk membangun sikap dirinya. Sayangnya, ia meninggal di usia yang terlalu muda dan pada masa pencariannya yang belum usai. Mungkin akan berbeda jika ia meninggal di era tuanya, jelas konsistensinya sebagai pemikir yang rasionalitik, skeptis, dan kritis akan bisa dikoreksi secara lebih utuh dan dinamis. Bahkan, dalam beberapa tulisan, Wahib menunjukkan ketawaduannya dan sekaligus keraguan atas jalan pikirnya untuk menemukan kebenaran dengan mengatakan:

Terus terang saya kurang setuju dengan orang-orang yang berkata bahwa sumber dari Islam itu tiga: Qur’an, Sunnah, dan akal. Saya pikir hanya ada dua yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Bila akal dimasukkan dalam deretan itu, menjadi tidak proporsional. Akal di sini bukan sebagai sumber, tetapi sebagai alat untuk menggali kedua sumber tadi. Apa konsekuensinya bila akal dipakai sebagai alat dan bagaimana kalau sebagai sumber? Kalau dipakai sebagai alat, karena akal itu macam-macam, walaupun dalam ruang lingkup Qur’an dan Hadist, maka akan timbul macam-macam Islam. Dan bila akal dipakai sebagai sumber, maka segala sesuatu yang merupakan produk akal yang kita rasa tak bertentangan dengan Qur’an dan Hadist, lalu bernama Islam.

Sekilas Pemikiran-pemikiran Ahmad Wahib

Sulit untuk meringkas pemikiran Wahib yang terkandung dalam buku catatan hariannya. Hal ini disebabkan kompleksitas isi buku tersebut dan kesingkatannya serta tidak ada penjelasan apa yang terjadi saat itu dan sebagai respon atas apa Wahib kemudian menuliskan setiap jengkal kalimatnya. Beberapa bisa tertangkap dengan jelas sebagai ungkapan kekecewaan maupun sebagai ungkapan keresahan, tetapi banyak yang tidak bisa terlacak.

Secara umum pemikiran wahib cenderung identik dengan refleksi kritisnya atas segala kondisi yang dianggapnya tidak ideal. Wahib menginginkan satu rumusan ulang tentang agama yang tidak mewujud dalam dogmatisme, melainkan hidup sebagai kesadaran otentik. Pemikiran semacam ini nampaknya bukanlah sebuah pemikiran yang mudah untuk dicerna publik, melainkan suatu gagasan emosional pribadi yang lahir dari sebuah latar kecenderungan untuk menginginkan sebuah pembaharuan total menuju puncak idealitas.

Penolakan kita terhadap deconcentration of fundamental values dikarenakan oleh pemikiran bahwa nilai-nilai yang disajikan ajaran Islam adalah a well tested framework of values (keadilan, kemerdekaan, kemakmuran, persamaan, kesempatan, penghormatan derajat individu, persaudaraan, pertanggungjawaban, tasamuh dan lain-lain). Tugas pikiran bagi manusia muslim sebagaimana juga secara material bagi manusia-manusia beragama lainnya ialah bagaimana agar nilai-nilai luhur itu hidup segar sebagai cita abadi dalam setiap pribadi manusia dan setiap individu-individu sosial. Kalau kita sudah sampai pada masalah penyelesaian tugas pemikiran ini, maka di sinilah seluruh akal budi manusia termasuk manusia muslim dikerahkan sekuat-kuatnya untuk menemukan suatu sistem sosial yang paling memungkinkan atau paling menjamin terlaksananya framework of values di atas.

ahmad wahib menolak pula segala bentuk nostalgia dengan menempatkan sejarah hidup Nabi Muhammad SAW sebagai hasil final peradaban Islam. Hal ini sering disebut Wahib sebatas bentuk sikap apologetik Islam untuk menutupi kegagalannya. Bagi Wahib, sejarah memiliki dimensi proses yang tak pernah final sehingga perlu kritik terhadap apa-apa yang telah final. Walaupun begitu, Wahib cukup sering menjadikan refleksi sejarah Rasul sebagai bentuk interpretasi atas Al-Quran dan Sunnah. Bagi Wahib, Islam harus menempati sebatas konsep sumber keluhuran
moral dan perlu diterjemahkan kembali dalam praksis kehidupan. Sebagaimana disebut Wahib pada hal. 115 “insan merdeka”:

Cara bersikap kita pada ajaran Islam, Qur’an dan lain-lain sebagaimana terhadap Pancasila harus berubah, yaitu dari sikap sebagai insan otoriter menjadi sikap insan merdeka yaitu insan yang produktif, analitis dan kreatif. Kita jangan lagi merumuskan kejayaan kita karena adanya Islam sebagai tempat kita berpijak, melainkan: bahwa kejayaan kita terletak pada potensi-potensi diri kita sendiri sesuai dengan dorongan moral yang ada dalam ajaran Islam. Kunci pemikiran harus diletakkan pada fungsionalisasi Islam dalam kreatifitas pribadi-pribadi kita dan bukan lagi pada status ajaran Islam dalam kehidupan kita!

Dalam catatan harian yang dibukukan ini, Wahib juga banyak berbicara tentang budaya dan politik, tetapi dua tema itu tidak lebih sekedar curahan gagasannya yang tidak terlalu mencolok. ahmad wahib hanya menekankan perlunya pluralitas dan kemajuan. Hal ini identik dengan ideologi modernisme yang sedang hangat pada generasi masa awal Orde Baru. Gagasan Wahib tentang budaya lebih sering menyerang budaya-budaya yang dianggapnya melawan kemajuan.

Gagasan Wahib yang mencolok justru tentang bagaimana menghidupkan sebuah organisasi dan bagaimana dia menghayati semua proses ilmiah di kampus. Wahib mengajarkan konsistensi dan kekritisan yang mampu menghasilkan dinamisasi yang terus berjalan. Alhasil, gagasannya secara tidak sadar terlembagakan dalam banyak proses di HMI. Namun, secara politis Wahib dikalahkan oleh kubu Nurcholish Madjid yang pada waktu itu dianggap sebagai fundamentalis dan natsirian (pengikut Mohamad Natsir – Red.).

Refleksi terhadap Ahmad Wahib

Di zaman mudah mengafirkan orang dan susah mencari sosok yang memiliki integritas serta kepekaan moral, sosok Wahib mungkin menjadi sosok yang aneh. Aneh karena ia dengan kekonyolannya berani menertawakan Tuhan sedemikian rupa, dalam arti dia berusaha mencari pemahaman kebenaran tentang Tuhan secara otentik. Sebuah
proses pencarian yang sangat berharga dan tentunya sangat teramat menyiksa dan melelahkan. Wahib sebagai sesosok pluralis memang keliarannya sering disalah pahami, tetapi sebagai seorang yang berusaha memahami realitas kemanusiaan ia merupakan generasi yang berusaha keluar dari pertikaian dan kejumudan yang dipengaruhi realitas sosial politik yang mengatasnamakan agama ataupun ideologi demi syahwat kepentingan. Hal ini nyata-nyata masih eksis di era kini di mana pragmatisme dan kepentingan menjadi ideologi resmi untuk mengejar kekuasaan, sedangkan Islam, nasionalisme, ataupun kerakyatan sekadar pemanis untuk menggalang suara.

Wahib mungkin bukanlah tokoh panutan. Ia sendiri belum selesai menemukan kebenaran yang ia yakini. Ia sering terjebak dalam penggunaan alat pencarian kebenaran yang tiada batasnya, yaitu “akal”. Namun, konsistensi Wahib bukanlah persoalan sederhana yang sulit tergantikan sebagai sebuah proses pencarian kebenaran. Merefleksi Wahib sebagai seorang pengembara pemikiran sedianya bukan untuk mencari sisi “sesat” karena sangat tak pantas seseorang mengusik pencarian orang lain, apalagi mencari sebuah pembenaran atas kerancuan dan kegelisahan kita dengan mengobjektivikasikannya pada pemikiran Wahib.

Sekiranya perlu merefleksi pada diri kita seberapa jauh kita telah menyelesaikan soal-soal prinsip pada diri kita, seberapa jauh pula kita menemukan kebenaran dan menyuarakannya, dan seberapa jauh pula kita selalu bersikap tawadu dan melakukan muhasabah “otokritik” yang tajam pada berbagai kerancuan diri dan kolektif sebagai sebuah generasi. ∎

Hafidz Arfandi – Ketua HMI Cabang Sleman 2013-2014
Daftar Pustaka:
Lihat hal. 43 “aku bukan Wahib” dan hal. 9 “kebebasan berfikir”
Lihat hal. 30 “haruskah aku memusuhi mereka yang bukan Islam……”
Lihat hal. 11 “interpretasi Al Quran dan hadist” -17 “emoh jadi orang munafik”
Lihat hal. 4 “pemahaman Islam yang dinamis”, juga hal. 16 “Tuhan maklumi aku”
Lihat hal 103-104 “Quran dan hadist untuk memahami sejarah Muhammad”
Lihat hal 113-114 “kesempurnaan Islam”