Berharap pada Para Gubernur!

Gimana pilpres nanti? Ah sudahlah, sudah tak menarik lagi hanya senda gurau saja, toh sampe sekarang belum ada adu konsep yg serius; misal melarang gratifikasi timses dan koalisi dg jabatan komisaris, atau mengumumkan kriteria menteri ke depan, atau berani mengumkan strategi ekonominya ke depan. Karena ga ada yg serius cuma ada lelucon soal emak-emak dan sebagainya, maka saya lebih tertarik utk mengamati 4 gubernur di jawa;

Mas anies, kang emil, mas ganjar dan bu khofifah, mereka “the real leader” yg bakal beradu konsep dan intuisi utk pimpin masyarakat di jawa, mengingat populasinya besar dan kompleks keempat wilayah ini akan jd labolatorium cantik kebijakan-kebijakan daerah yg inovatif. Siapa yg paling berprestasi tentu akan dilirik oleh rakyat utk dijadikan pemimpin masa depan,

Agak males ngelihat pilpres sekarang, prabowo dan gerindra akan sibuk ngurus internal partai pasca prabowo, menang atau kalah yg ada cuma bagi-bagi kuasa, kubu jokowi tak jauh beda, biarkan rakyat memilih (pemilik hak suara yg msh tertarik pemilu, maksudnya) dan biarkan saja permainan berlangsung, kita sbg warga negara yg baik ikut nimpukin yg melanggar aturan main aja, sgt tak menarik bahkan sekedar mengamati atau mendiskusikannya sekalipun.

Kembali ke 4 gubernur, andaikan mereka bertemu dan membangun kerjasama lintas provinsi, kemudian berpikir maju ttg rencana bersama dalam proyek-proyek pembangunan ekonomi, lingkungan dan sosial; lalu mereka mengambil terobosan dg membangun zonasi-zonasi wilayah melalui kordinasi yg baik dan sistematis dg bupati/walikota, mampu mendorong bupati dan walikota utk bersama-sama membangun SOP anti korupsi, good and open governance system, bikin e-planning, e budgeting, e-report, e-monitoring dan lain sebagainya bersama-sama tentu dg advisory dari pemerintah pusat kemendagri, bappenas dan kementerian teknis terkait, maka 50% dari masalah indonesia akan teratasi tak penting siapa presidennya! Karena mayoritas sumber masalah ada di Jawa.

Bagaimana dg luar jawa? Bukankah masalahnya jg sama ribetnya? Jika problem-problem tata kelola di jawa telah beres, tentu akan jd benchmark bagi proses desentralisasi yg lebih baik di luar jawa. Dan tentunya dg inisiatif dari kepala daerah masing-masing akan melahirkan terobosan yg lebih baik. Tp selama tata kelola jawa belum beres, luar jawa hanya akan jd lahan eksploitatif oleh rakusnya perputaran ekonomi di jawa dan selalu melahirkan residu.

Benjamin R. Barber menulis ilustrasi menarik ttg kebangkitan pemerintah kota dalam membangun kebijakan-kebijakan walikota yg progresif telah mampu melampaui efektifitas pemerintah nasional, ya utk negara-negara kecil dg populasi kecil pemerintah kota bisa jd tumpuan, tetapi utk negara besar dg populasi jumbo 250jt, maka provinsi atau gubernur lah yg mampu membawa perubahan, sama persis di beberapa negara berpopulasi besar macam AS, China, India, Brazil dimana inovasi bisa dilakukan dg masif oleh pemerintah negara bagian/provinsi.

Tidak ada kebijakan yg bisa diselesaikan dlm scope terlalu kecil, misal industri? Kebijakan industri, bahan baku, pajak, limbah, tenaga kerja dan logistik tak mungkin selesai di satu kota atau kabupaten saja, minimal perlu ditata di region tertentu (eks karisidenan) dan bisa disinergikan lintas region sesuai dg keunggulan dan potensi masing-masing daerah. Kebijakan kelautan, kehutanan dan bahkan pendidikan dan pengentasan kemiskinan bisa lbh optimal kalau ada kordinasi di scope region dan lintas region. Maka gubernurlah yg bisa jd penunjuk jalan peluang kebangkitan daerah.

Lalu apakah selama ini tidak berjalan! Ya, fungsi gubernur sudah lama tumpul dan krg kordinatif dg kebijakan kabupaten/kota, semangat otonomi yg reaktif dan kebablasan pasca 1998 menjadikan kita tak melakukan uji coba dulu, tp langsung bablas sampe ke bawah dan “pr” seriusnya tidak ada tata kelola yg sistematis. Fungsi gubernur sbg kepanjangan pemerintah pusat tiba-tiba jd minim dan bertumpang tindih dg pemerintah daerah dan dg alasan populis tentu sering dipotong oleh kendali pusat. Nah, mgkn 4 gubernur di jawa ini bisa kita pantau dan kita tantang sekaligus kita kritisi dan beri masukan.

Meski saya tak bermaksud mengatakan yg lain kalah kualitas tp infrastruktur utk melakukan pengamatan lbh mudah di jawa di banding wilayah-wilayah lainnya. Nah, bagaimana dg banten dan diy, dua provinsi lain di jawa, keduanya agak sulit melahirkan pemimpin alternatif, di diy sbg daerah istimewa jd hak preogatif sultan, sdg di banten, trah keluarga melahirkan dinasti politik, maka lbh banyak berdoa agar para pemimpin2 ini serius dan bekerja maksimal adalah lebih penting, terlalu sulit membangun kerangka objektif ditengah mandulnya demokrasi shg proses kebijakan publiknya pun akan sulit didorong ke arah yg lbh rasional. Kecuali, ada komitmen dr para elitnya sendiri.

Tak perlu cemas, pilihan aristokrasi kerajaan inggris dan negara-negara Scandinavia di pertengahan abad 19, utk mendemokratisasi dirinya melalui sistem parlementer toh berhasil dan tak perlu harus dg jalan demokrasi republikan ala amerika dan prancis. Kembali mengacu pd teori klasik baringtone moore, konfigurasi kelas sosial akan menentukan pula pola-pola demokrasi yg berjalan dan pada titik tertentu kesemuanya punya potensi berkembang ataupun runtuh yg sama besarnya. Dan masing-masing pemimpin punya kesempatan utk memilih diantara keduanya.


Hafidz Arfandi
Ketum HMI Sleman 2013-2014