Catatan Diskusi “Masa Depan Politik Timur Tengah : Konflik, Agama dan Politik”

 

Dua Akar Konflik

Pergolakan timur tengah selalu menarik diamati, dinamika yang berkembang disana sangat dinamis dan penuh dengan gejolak. Ahmad Sahide, melihat bahwa peta politik timur tengah secara umum bisa dilihat dari dua faktor, pertama, masalah agama, penganut faham islam sunni dan penganut faham islam syiah. Konflik ini sebenarnya konflik lama antara fathimiyah dan ummayah-abbasiyah, dan terus berlangsung lama, tetapi direproduksi ulang sejak pasca revolusi islam iran. Kemunculan Iran yang beraliran Syiah dianggap sebagai salah satu ancaman bagi stabilitas politik di timur tengah, khususnya Arab Saudi yang beraliran wahabisme Sunni. Arab Saudi sangat mengkhawatirkan penyebaran ajaran syiah di kawasan timur tengah, dilain sisi secara resmi Saudi menyebut syiah sebagai bukan islam. Faktor kedua adalah, sikap politik, yang pro barat dan anti barat. Sikap pro barat sangat ditunjukan oleh Arab Saudi, Mesir (dibawah Anwar Sadat dan Husni Mubarak) yang sejak awal menjadi sekutu utama Amerika Serikat, sedangkan sikap politik anti barat sering dimunculkan oleh berbagai kekuatan politik timur tengah, diantaranya Iran, Iraq (di zaman Saddam Husein), Libya (di bawah Khadafi), Hamas di Palestina, Hizbullah di Iran. Perbedaan sikap politik ini berhasil membangun konfigurasi diplomasi regional yang dinamis.


Arab Spring dan Peta Regional

Dalam konteks kontenporer ada beberapa kekuatan kunci yang perlu diamati, yaitu, Arab Saudi dengan Wahabismenya, Iran dengan Syiahnya, kemudian pendatang baru Turki dibawah Erdogan. Mereka adalah kekuatan dominan yang memiliki pengaruh regional. Pasca arab spring, terjadi pergulatan masif, pertama, dihancurkanya rezim ben ali di Tunisia dan rezim Khadafi di Libya, kemudian digulingkanya Mubarak di Mesir. Perubahan peta politik ini kemudian merambah di Bahrain dan Suriah. Tunisia, Libya dan Mesir, kalangan islamis nasional berhasil merebut kekuasaan pasca runtuhnya rezim akibat intervensi barat, walaupun di mesir akhirnya IM justru dikudeta ulang oleh militer. Sedangkan di Bahrain dan  Suriah, dua negara dengan tipikal unik, Bahrain mayoritas Syiah tetapi pemimpinya sunni, sedangkan Suriah mayoritas sunni tetapi pemimpinya syiah. Disinilah terjadi pergolakan yang dipicu oleh Arab Saudi dan Iran, keduanya berusaha memperebutkan pengaruh. Bahrain berhasil diamankan setelah Arab Saudi memberikan bantuan besar-besaran pada pemerintahnya dan internal negerinya cukup solid tidak terpecah sehingga konflik mudah dipadamkan, sedangkan Suriah ternyata menjadi medan konflik, dikarenakan suriah merupakan salah satu wilayah strategis. Perebutan suriah tidak hanya didukung kekuatan regional iran dan Saudi, tetapi juga didalangi peran barat (AS dan eropa) dengan  Rusia dan China (China merupakan pihak paling dirugikan pasca jatuhnya khadafi karena kontrak energi China dan Uni Afrika di bawah Khadafi dibatalkan oleh Barat) . Keduanya saling mempertahankan dengan sekuat tenaga, terbukti dengan veto Rusia untuk menolak intervensi militer DK PBB ke Suriah.


Konfigurasi politik di berbagai Lahan

Konfigurasi politik timur tengah cukup unik, pasca jatuhnya Mubarak di mesir, IM yang berkuasa ternyata didukung oleh pihak salafi (wahabi) di parlemen, mereka berkoalisi untuk membentuk pemerintahan, tetapi langkah Mursy untuk melakukan pendekatan ke Iran dan China dianggap sebagai bahaya oleh barat sehingga Mursy dengan skenario cantik dijatuhkan melalui kudeta militer yang didukung barat (barat tidak menyebutnya sebagai kudeta). Mursy berusaha membangun kekuatan anti barat bersama Iran, di saat inilah barat dan Arab Saudi khawatir, maka wajar ketika Mursy dijatuhkan partai salafy memilih diam. Kenaikan mursy juga menyisakan momok yang menjadikanya mudah dijatuhkan salah satunya, gerakan pembersihan orang-orang non IM dari berbagai lembaga pemerintah, bahkan hingga tingkat kepala sekolah yang non IM harus diganti, sehingga menjadikan reaksi cukup keras dikalangan kelas menengah mesir untuk membiarkan jatuhnya mursy. Pemerintahan Mursy menjadi satu preseden penting, bahwa IM di Mesir belum sepenuhnya siap memimpin.

Konfigurasi di Mesir berbeda di Palestina, Hamas dan Hizbullah bahu-membahu melawan Israel. Iran, Turki, dan ikhwanul muslimin di mesir bersatu untuk saling mendukung melawan zionisme Israel, dan mereka sama-sama mengutuk Saudi yang memilih diam bahkan seringkali melindungi israel. Tetapi, ketika peta konflik berubah di Suriah, perubahan koalisi terjadi. Turki, IM (di mesir), dan Saudi bersatu dengan barat untuk menghabisi Assad yang didukung Iran, dan di-back up-i Rusia dan China (assad penganut aliran syiah, sedangkan mayoritas penduduk suriah adalah sunni). Motif konflik ini ibarat perulangan perang dingin baru yang terjadi di Timur Tengah, dimana dua kubu raksasa dunia bertarung dengan meminjam tangan-tangan rakyat sebangsa, hanya saja isu konflik sunni-syiah menjadi alat utamanya. Barat dan Rusia-China jelas melihat timur tengah sebagai sumber daya strategis terutama terkait dengan cadangan migas yang terdapat didalam perut buminya. Kegagalan Arab Saudi untuk menggulingka Assad ternyata berdampak pada gerakan untuk menghabisi seluruh sayap-sayap politik syiah di seluruh dunia, dengan gencar kampanye anti syiah yang didanai besar-besaran.


Masalah dan Solusi

Permasalahan besar di Timur tengah, adalah tidak adanya pranata demokrasi yang mendukung proses demokratisasi berjalan. Pertama,  tingginya ashobiyah, primordialisme sehingga tidak berkembang wacana pluralism, toleransi ataupun nasionalisme, kedua, minimnya kampus-kampus kajian sosial-politik, jika pun ada hanya dinikmati orang-orang dari keluarga elit, Ketiga,tidak munculnya media dan civil society independen. Media dikuasai oleh kalangan raja-raja (aljazeera) sedangkan civil society tidak berkembang secara wacana, sehingga perlawanan selalu diartikan dengan angkat senjata, perlawanan terhadap pemerintah dilakukan dengan cara memberontak (Al Qaeda, dll). Keempat, standar ganda barat, barat tidak berusaha mendemokratiskan timur tengah karena tidak sesuai dengan kepentinganya, demokrasi sejati akan membawanya sulit untuk menguasai timur tengah. Maka barat yang getol menyerukan demokrasi tidak melakukanya di Timur Tengah. Barat menuduh Iran tidak demokratis, tetapi sama sekali tidak menyinggung Arab Saudi. Kelima, terjadinya perselingkuhan agama dan politik, kerajaan-kerajaan islam selalu melegitimasi setiap tindakanya dengan berbagai fatwa ulama-ulamanya, tetapi terkadang dalam politik sangat terlihat inkonsistensi sikapnya yang menunjukan bahwa ulama benar-benar dijadikan sekedar tameng politik.

Solusi untuk Timur Tengah, pertama, perlu penyemaian gagasan pluralism, toleransi yang moderat untuk membentuk kesadaran plural di masyarakat Arab, kedua, memperkokoh kajian-kajian, kampus dan studi-studi sosial politik di timur tengah, Ketiga, mendorong lahirnya media dan civil society yang independen, termasuk kalangan ulama independen yang tidak menjadi bagian dari praktek politik kekuasaan.


Refleksi

Konflik timur tengah memberikan pelajaran penting, pertama, toleransi menjadi bagian penting dari bangunan sebuah bangsa, kedua, konflik internal umat islam tentang sunni dan syiah menjadi momok besar yang perlu disikapi secara bijak agar tidak berujung pada konflik horizontal, ketiga, keberadaan pranata demokrasi, kampus, civil society  (termasuk ulama) dan media yang independen  menjadi penentu berlangsungnya demokratisasi negara tanpa kooptasi kepentingan politik

(tulisan ini dikutip dari berbagai gagasan yang muncul dalam diskusi yang dipantik oleh Mas Ahmad Sahide, Kandidat Doktor Kajian Timur Tengah UGM) pada 19 Des 2013 di Sekretariat HMI MPO Cabang Sleman