Data dan Revolusi Intelektual Mahasiswa

” If we have data, let’s look at data. If all we have are opinions, let’s go with mine”. Jim Barksdale, former Netscape CEO

Idealnya seorang akademisi menyikapi suatu isu secara kritis. Artinya menganalisis fakta, mencetuskan dan menata gagasan, mempertahankan pendapat, membuat perbandingan, mengevaluasi argumen, dan (pada akhirnya) memecahkan masalah.[1] Dalam konteks ilmu sosial dan keadaan sosial, fakta utama yang ada adalah satu: data. Tidak seperti pendapat, sentimen, maupun pandangan, data bersifat objektif dan minim dari bias subjektif yang mempengaruhi pemikiran kedepannya. Memulai dari fakta (atau data, dalam konteks isu sosial), membantu kita menempatkan besaran masalah dan skala prioritas secara objektif dengan sifatnya yang mengambarkan keadaan populasi dibandingkan sentimen atau pendapat tanpa dasar. Namun demikian, tidak seperti pendapat, sentimen, maupun pandangan, entah mengapa mahasiswa malah tidak menggunakan data dalam menganalisis isu sosial.

Klaim diatas bukan pendapat tidak berdasar dari penulis. Untuk pengetahuan, BPS dalam publikasi berita statistiknya men-track jumlah unduhan dari berbagai filenya. Pada saat masalah harga cabai dipermasalahkan sebelum demo mahasiswa 12 Januari 2017, jumlah pengunduh data inflasi bulan November dan Desember 2016 di BPS hanya 4000 dan 3000 orang, untuk masing – masing data.[2] Kutipan data yang relevan di pernyataan sikap mereka, yang sebagian besar BEM universitas rilis? Nyaris tidak ada.

Padahal data merupakan step pertama: memastikan apakah kenaikan harga cabe secara signifikan merupakan peristiwa jangka pendek atau jangka panjang, bersifat lokal atau nasional.[3] Kemudian dilanjutkan dengan melihat data produksi cabai untuk mengetahui penyebab kenaikan harga: apakah akibat produksi kurang, permainan pasar, masalah tengkulak, atau masalah lainnya. Penggunaan fakta berupa data memungkinkan kita menarik keputusan secara objektif dan spesifik, menyarankan tindakan tegas dan konkrit. Kemungkinan lebih efektif dibandingkan aksi demo yang tuntutannya selesai 2 minggu berselang setelah harga cabe kembali normal.[4] Padahal apakah masalahnya selesai sampai disini? Siapa (jika ada) yang bersalah atas melonjaknya harga cabai? Apakah dia harus dihukum untuk mencegah kejadian seperti ini terjadi lagi? Banyak pertanyaan tak terjawab dari lonjakan harga cabe di awal tahun 2017.

Masalah penting lainnya dari minimnya pemahaman dan penggunaan data oleh mahasiswa adalah mudahnya pengalihan isu dilakukan terutama oleh media. Salah satu berita yang umum saat harga cabai sedang tinggi – tingginya adalah tindakan pemerintah untuk membagikan bibit cabe yang ditumbuhkan di berbagai tempat: dari perkarangan rumah sampai kantor dinas untuk mengatasi kesulitan cabe. Masalahnya: apakah kesulitan cabe sekarang dapat diselesaikan dengan bibit yang baru akan menjadi cabe 3 bulan lagi? Melihat data fluktuasi tahunan harga cabe, harga memang umumnya paling tinggi saat bulan Januari – Febuari. Harga malah sudah cenderung rendah saat tanaman cabe yang dibagikan di panen (April). Argumen kedua adalah masalah efisiensi: bahkan jika dilakukan penanaman cabe di perkarangan tidak efisien, dari yield yang lebih kecil sampai economics of scale yang diperoleh oleh perkebunan yang lebih besar (yang datanya juga dapat diperoleh di BPS). Singkat kata, tidak mungkin ini menyelesaikan permasalahan harga cabe. Mengapa kita sebagai mahasiswa mengiyakan saja pengalihan isu tanpa mengoreksinya?

Ini hanya cuplikan singkat dari pengalihan isu yang lebih besar yang (mungkin) terjadi. Salah satu contoh utama adalah kenaikan tarif dasar listrik bagi 18,9 juta, atau lebih dari 80% rumah tangga 900 W sebesar 2,2 kali lipat yang rasanya minim dibahas. Secara nominal, ini bisa sampai kenaikan tarif listrik sebesar 150 ribu per bulannya yang kemungkinan berdampak besar pada kesejahteraan rumah tangga. Cara membuktikannya? Data mengenai pengeluaran listrik rumah tangga (yang kurang lebih tinggal dikalikan 2,2 setelah harga listrik naik) dibandingkan dengan total pengeluaran rumah tangga (susennas memiliki data ini). Apakah defisini PLN bahwa 18,9 juta rumah tangga tersebut tidak layak menerima subsidi memang benar? Apakah definisi “tidak layak”? Pertanyaan seperti ini, berbagai isu sosial-ekonomi lain, dan penentuan besaran, prioritas, dan urgensinya hanya dapat dinilai dengan fakta dan data (yang sering tidak dipahami kalangan non-akademik, apalagi rakyat biasa). Bukan sentimen dan presepsi yang sering menyembunyikan masalah utama di balik kicauan media dan pengalihan isu secara politik.

Inilah sedikit harapan sederhana penulis pada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), khususnya HMI Komfak ekonomi. Sebagai social sciences utama yang berlandaskan pada indikator dan data, teman – teman-lah yang seharusnya paling paham akan fakta, situasi, dan urgensi keadaan melalui data. Teman – teman-lah yang seharusnya mensuplai fakta dan informasi, mengarahkan isu sosial ekonomi sesuai skala prioritas dan urgensinya. Menanamkan kembali di kalangan mahasiswa budaya intelektual berdasarkan fakta. Memulai revolusi intelektual, dengan data ∎

 

[1] Chance, 1986

[2] Jumlah ini adalah jumlah pada tanggal 12 Januari sebelum aksi. Setelah itu, pengunduh inflasi desember 2016 mencapai 11000 orang pada 31 Januari 2017.

[3] Jika ingin lebih spesifik lagi, data sistem pemantauan pasar kebutuhan pokok (SP2KP) yang dipublish di website Kementrian Perdagangan memungkinkan pemantauan harga secara harian di berbagai pasar di Indonesia.

[4] Penulis tidak mengatakan bahwa tindakan mahasiswa dalam menuntut pemerintah atas kenaikan harga cabai salah. Malah kebalikannya, penulis percaya harga cabai kembali normal akibat tuntutan mahasiswa dan media. Meski demikian, penulis percaya mahasiswa dapat melakukan lebih: mereka dapat memastikan hal seperti ini tidak terjadi lagi.

 

Muhammad Imam Adli – Ilmu Ekonomi 2013, Kepala Bidang Kajian Strategis HMI Cabang Sleman, dan Staf Ahli Unit Kajian dan Diskusi Komfak Ekonomi