Dulu Saya Aktivis HMI : Kisah Inspiratif Kanda Awalil Rizky Alumni HMI FEB UGM

Dahulu aku anggota HMI. Kini tetap berupaya hidup yang pantas sebagai alumni HMI.

Pengalaman masa laluku sebagian besar menyenangkan. Salah satu kenangan terindah adalah ketika menjadi anggota dan aktif dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tentu saja cerita sebagian berikut ini ada dramatisasinya, silakan didiskon.

Aku menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM pertengahan 1984. Saat itu, para aktivis HMI komisariat FE UGM telah mendekati banyak mahasiswa baru dan mengajak mengikuti beberapa kegiatannya. Salah satunya adalah acara makan-makan dan mengenalkan HMI, semacam orientasi awal. Sejak itu, aku kenal dan bergaul dengan beberapa kakak angkatan yang merupakan anggota HMI.

Meski telah bergaul dan mengikuti beberapa kegiatannya, secara resmi aku menjadi anggota setelah mengikuti Basic Training (Batra) dan dilantik menjadi anggota HMI pada Februari 1985. Selama setahun berikutnya aktif dalam banyak kegiatannya, dan sering dilibatkan sebagai panitia.

Pada februari 1986, aku menjadi ketua Panitia Batra untuk menjaring anggota baru. Kegiatan ini membawaku ke tahanan Kodim dan Polres, karena HMI cabang Jogja aktif menentang pemaksaan asas tunggal bagi ormas, termasuk HMI. Acara dibubarkan, aku dan dua pengurus cabang dibawa ke Kodim selama 12 jam, dan mengalami sedikit penyiksaan. Disuruh push up dan diinjak sepatu lars. Di ruang tahanan dimasukan satu orang lain (pencuri) yang mukanya berdarah-darah, semacam psywar sebelum kami diinterogasi. Ketika selesai interogasi, kukira akan dibebaskan karena diantar pakai mobil bak terbuka Kodim. Ternyata dipindah dan dititipkan ke POLRES Yogyakarta. Di sana ada beberapa penyiksaan psikologis lagi yang berlangsung hingga 24 jam.

Pada pertengahan 1987, aku menjadi panitia dadakan Konperensi HMI Cabang Yogyakarta. Sebenarnya bukan panitia resmi, malah sebagai peserta utusan komisariat FE UGM. Namun karena konperensi berlangsung bertahap dan berpindah-pindah tempat, maka hampir seluruh panitia “tercecer” dan hanya meninggalkan seorang ketua pada sesi-sesi terakhir. Sesi terakhir berupa pertanggungjawaban pengurus dan pemilihan Ketua formatur baru terpaksa diselenggarakan di atas bukit kawasan Parangtritis, demi mengindari kejaran aparat keamanan. Pada malam sebelumnya, peserta terpaksa harus tiduran di pantai wisata, sambal tetap diawasi para intel. Jelang shubuh, peserta secara diam-diam naik ke perbukitan, dan lolos dari pengamatan. Aku ikut membantu evakuasi, dan kemudian ikut mengatur pencarian dan pembagian minuman dan membeli makanan seadanya agar para peserta yang tersisa tak kelaparan di atas bukit.

Pada pertengahan 1988, menjadi ketua panitia kongres HMI (MPO) 1988 di Wonosari. Kejadian ini memaksaku harus menyembunyikan diri dua pekan di Kalimantan. Aparat keamanan berang karena sejak awal telah berusaha menggagalkannya. Dengan kerja sama yang solid dari sebelas panitia, kami berhasil mengecoh mereka, dan membawa sekitar 100 an orang berkongres selama sepekan. Lokasi di dusun yang belum memiliki penerangan listrik. Peristiwa ini mencatatkan utang budi HMI yang luar biasa besar pada pak Solikin (almarhum) kepala dusun beserta warganya. Acara berlangsung lancar, pertanggungjawaban Egie Sudjana diterima, dan Tamsil Linrung terpilih sebagai ketua baru. Namun, setelah Egie jumpa pers tentang hasil kongres, maka pengejaran dan upaya penahanan pun dilakukan aparat. Pak Solikin dan warganya dipaksa apel seharian di lapangan, dan semua diinterogasi. Khusus pak Solikin, selama 3 bulan wajib lapor tiap hari kerja. Di dusun, ada aparat yang berjaga hingga sebulan. Panitiaku? Semua aku minta balik kampung dulu. Aku? Ya tadi lari ke Kalimantan, hehehe…

Pada pertengahan tahun 1989 aku diamanahi menjadi Ketua Umum Cabang Yogyakarta. Tugas pertamanya adalah mencari sekretariat dan membayar sisa utang kepengurusan sebelumnya. Padahal banyak orang (alumni) masih takut terdaftar menyumbang HMI yang dianggap menentang Soeharto. Hampir semua kegiatan dilakukan dengan swadaya. Sebagian besar kegiatan diupayakan di kampus dan tempat tertentu yang aman. Khusus pelatihan harus dilakukan sembunyi-sembunyi dan disamarkan dengan berbagai nama kegiatan. Anehnya, jumlah kegiatan meningkat pesat, dan terjadi lonjakan penerimaan anggota. Seingatku, periode kepengurusanku mencatatkan penerimaan anggota terbanyak sejak tahun 1980 hingga kini.

Selama kurun 1989-1992 menjadi pengader nasional yang keliling berbagai wilayah tanpa kepastian kepulangan, karena keamanan ataupun keterbatasan dana. Pernah tertahan lebih dari sebulan di Makassar. Pernah masuk UGD karena kelelahan, mengisi acara di Semarang, Purwokerto dan Jogja tanpa henti selama beberapa hari.

Kenangan paling indah adalah memperoleh jodoh Ety, yang juga aktivis HMI. Pernah menjabat ketua KOHATI komisariat FE UGM dan Cabang Jogja.

Singkat cerita, Aku amat beruntung pernah dibesarkan oleh dinamika HMI (MPO) dalam suasana perlawanan dan “penderitaan”. Kini semua menjadi kenangan indah yang tak terlupakan. Tak ada dendam pada aparat keamanan (TNI dan POLRI), dan cintaku masih besar pada NKRI.

Kini, Aku tidak ingin hari tua ku menjadi sesuatu yang “membatalkan” semua kenangan itu. Umpama menganut nilai hidup yang berbeda, apalagi melacurkan diri pada kepentingan kekuasaan apa pun.

Perlawanan, perjuangan, bahkan penderitaan adalah sejatinya menuliskan kenangan indah, insyaallah. Selamat Milad HMI!
(Rewrite status setahun dan tiga tahun lalu).