Evaluation of What: 3 tahun Jokowi-JK

Oleh:

Muhammad Imam Adli

Kepala Kajian Strategis HMI Cabang Sleman, Kader Komisariat HMI FEB UGM

 

Menyambut ulang tahun ke 3 jabatan Jokowi-JK berbagai kajian dan pernyataan mengenai performa pemerintahan selama 3 tahun terakhir mulai bermunculan. Tidak terkecuali dari pihak mahasiswa yang memberikan kritikan pedas pada kepemimpinan 3 tahun belakangan. Tugu Rakyat (Tuntutan Pembangunan Pro Rakyat) dan kajian KM UGM merupakan contoh utama yang penulis lihat, terutama dengan posisi penulis sebagai mahasiswa UGM. Sejalan dengan itu, hal yang pertama kali penulis lihat dari kajian tersebut adalah bagian yang bersangkutan dengan ekonomi karena penulis berasal dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis. Tulisan ini merupakan sedikit komentar dan pendapat penulis mengenai 3 tahun Jokowi-JK dan kritik terhadap metodologi dari kritik mahasiswa yang banyak beredar menyambut 3 tahun Jokowi-JK

Evaluasi Keadaan Ekonomi Umum

Untuk memulai, dapat dikatakan bahwa kinerja Jokowi-JK sepanjang 3 tahun belakangan tergolong standar dengan pertumbuhan ekonomi sekitar ~5% per tahun. Sebagai perbandingan pertumbuhan ekonomi dunia (total seluruh negara) adalah sekitar 2,6% pada 3 tahun belakangan. Nilai sekitar 5% ini memang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan  ekonomi Indonesia tahun 2010 – 2012 yang berada pada kisaran ~6% per tahun, namun mempertimbangkan perlemahan pertumbuhan perekonomian global, nilai ini masih dapat dianggap wajar.

Berbagai indikator ekonomi lain menunjukkan pergerakan yang mirip. Nilai pengangguran mengikuti tren penurunan yang sudah berlangsung dari tahun 2006 sampai sekarang. Meski demikian terdapat perlambatan dari penurunan tersebut. Dari tahun 2006 misalnya presentase pengangguran adalah 10,45% yang menurun menjadi 5,81% pada bulan Februari 2015. Pada bulan Februari 2016 dan 2017, nilai ini menjadi 5,50% dan 5,33%. Mempertimbangkan jumlah, Pengangguran berkurang dari 11,1 juta pada Februari 2006 menjadi 7,45 juta pada Februari 2015, 7,02 juta pada Febuari 2016 dan 7,00 juta pada Februari 2017. Disatu sisi perlambatan pengurangan pengangguran memang suatu hal yang wajar, namun disisi lain memang terdapat kesulitan pengadaan lapangan pekerjaan baru mempertimbangkan perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Kemiskinan menurut penulis menunjukkan cerita yang berbeda. Disaat pengangguran menunjukkan trend yang menurun, kemiskinan menunjukkan trend stagnan. Presentase penduduk miskin mengalami pengurangan dari sekitar 11% pada awal 2015 menjadi 10,64 persen pada Maret 2017 namun jumlah penduduk miskin dalam 4 tahun terakhir masih berkisar di sekitar ~28 juta penduduk (karena mempertimbangkan peningkatan jumlah penduduk).

Pengurangan kemiskinan secara makro ini dapat ditelusuri lebih lanjut dengan melihat angka kedalaman kemiskinan (P1) dan angka keparahan kemiskinan (P2). Angka kedalaman kemiskinan didefinisikan sebagai aggregat jarak antara garis kemiskinan dengan pengeluaran orang miskin. Misalnya terdapat rumah tangga A dengan pengeluaran per kapita 360.000 dan garis kemiskinan 400.000. Rumah tangga A dianggap sebagai rumah tangga miskin karena pendapatannya dibawah 400.000. Angka kedalaman kemiskinan menghitung selisih dari pendapatan rumah tangga miskin dengan garis kemiskinan, yang besarnya untuk rumah tangga A adalah 40.000 (400.000 – 360.000). Besaran ini kemudian dijumlahkan untuk seluruh rumah tangga miskin dan dibobotkan terhadap garis kemiskinan itu sendiri. Di sisi lain indeks keparahan kemiskinan mengkuadratkan selisih dari garis kemiskinan dan pengeluaran rumah tangga. Oleh sebab itu indeks keparahan kemiskinan dan indeks kedalaman kemiskinan merepresentasikan seberapa “miskin”-kah penduduk yang kita anggap miskin tersebut.

Selama 3 tahun terakhir,  indeks kedalaman kemiskinan tidak menunjukkan pengurangan yang berarti. Dari Maret 2014 sampai Maret 2017 nilainya secara berturut – turut adalah 0,43, 0,44, 0,53, 0,51, 0,53, 0,44, dan 0,48. Trend yang sama juga ditunjukkan oleh indeks keparahan kemiskinan. Dengan kata lain penduduk miskin masih kurang – lebih sama jumlah dan level miskinnya dalam beberapa tahun terakhir mengacu pada garis kemiskinan. Dibandingkan sekitar tahun 2010 dimana terjadi pengurangan signifikan jumlah penduduk miskin dan angka kedalaman kemiskinan, dalam 3 tahun terakhir memang terjadi perlambatan pengurangan kemiskinan di Indonesia.

Untuk ketimpangan, indikator favorit yang digunakan adalah indeks gini. Indeks gini sendiri memiliki nilai 0 – 1 dengan nilai 0 menunjukkan tidak adanya ketimpangan (seluruh rumah tangga memiliki pengeluaran per kapita yang sama) dan nilai 1 menunjukkan ketimpangan sempurna (1 rumah tangga memiliki seluruh pengeluaran, sisanya 0). Indeks gini Indonesia sendiri sebelumnya pada tahun 2005 relatif kecil sebesar 0,355, namun menunjukkan peningkatan sampai pada tahun 2012 di sekitar nilai 0,41. Nilai ini relatif stabil pada 0,41 sampai semester 1 tahun 2015 dan belakangan ini mulai menunjukkan penurunan sampai sebesar 0,393 pada tahun 2017 semester 1. Sebagai perbandingan, indeks gini dibawah 0,3 dianggap ketimpangan rendah, 0,3 – 0,5 dianggap ketimpangan sedang, dan diatas 0,5 dianggap ketimpangan tinggi.

Mungkin sebagian pembaca bertanya: mengapa potret ketimpangan diatas berbeda dari yang misalnya dikatakan katadata.[1] Perlu diperhatikan bahwa data yang sering dirujuk adalah adalah sebatas kepemilikan kekayaan 1% penduduk paling kaya, sementara indeks gini memberikan gambaran mengenai ketimpangan pada pengeluaran penduduk Indonesia. Sebagaimana diargumentasikan oleh Acemoglu dan Robinson (2015), presentase kekayaan top 1% tidak merepresentasikan ketimpangan ekonomi. Terdapat kasus seperti di Swedia dan Afrika Selatan dimana ketimpangan secara umum turun sementara kekayaan yang dimiliki top 1% naik. Memang kepemilikan orang kaya yang sangat tinggi mungkin merupakan masalah lain, tapi secara umum indeks gini merupakan gambaran yang jauh lebih baik mengenai ketimpangan.

Dari data diatas mengenai ketimpangan Indonesia dilihat dari indeks gini dapat diargumentasikan terjadi pengurangan ketimpangan. Kesimpulan ini perlu dikaji lebih lanjut. Secara nasional memang terjadi pengurangan ketimpangan, namun ketimpangan lebih merupakan masalah bila terjadi secara regional. Kita yang misalnya tinggal di Jogja dapat melihat ketimpangan di daerah kita dengan jelas, namun kemungkinan tidak terlalu peduli dengan seberapa kaya orang di Jakarta sana. Akibatnya penting bagi kita untuk melihat secara spesifik trend dari ketimpangan per provinsi atau per kabupaten. Pertimbangan mengenai volatilitias pada pengeluaran dan perhitungan indeks gini yang menggunakan aggregasi kelompok pendapatan juga berarti penting untuk tidak hanya  mengacu pada satu indikator ketimpangan.

Sifat Evaluasi Kebijakan Ekonomi

Evaluasi singkat diatas diharapkan dapat sedikit memperjelas kinerja ekonomi sepanjang 3 tahun terakhir. Singkatnya, kinerja Jokowi-JK secara ekonomi normal, tidak spektakuler namun tidak layak juga untuk sampai harus disidangi, apalagi mengatasnamakan rakyat dengan tajuk sidang rakyat. Kepuasan kepemimpinan Jokowi-JK saja berdasarkan CSIS (Centre for Strategic and International Studies) menunjukkan trend meningkat selama 3 tahun terakhir, dengan 50,6 persen pada tahun 2015, 66,5 persen pada tahun 2016, dan 68,3 persen pada tahun 2017. Hasil tingkat kepuasan yang meningkat sejak tahun 2015 juga dilaporkan oleh berbagai survey lain, seperti survey Kompas dan PolMark. Mempertimbangkan trend ini tidak ada dasar bagi kita untuk secara evidence-based menghakimi buruknya performa Jokowi-JK, setidaknya dilihat dari sektor ekonomi.

Untuk evaluasi dalam bidang ekonomi sendiri memang terdapat berbagai kesulitan. Pertama adalah banyaknya faktor eksternal sehingga keadaan ekonomi Indonesia sedikit banyak bergantung pada kondisi ekonomi dunia. Akibatnya penggunaan indikator ekonomi untuk mengukur kinerja juga tidak terlepas dari pelemahan ekonomi global. Di sisi lain terdapat kecenderungan untuk menyalahkan pemerintah akan keadan global yang diluar kontrol ini. Contoh sederhana adalah krisis 1998 yang mengakibatkan runtuhnya rezim Soeharto. Apakah sebelum tahun 1998 Soeharto melakukan tindakan yang jauh berbeda dari 32 tahun dia menjabat? Tidak. Keadaan krisis Asia Tenggara, faktor eksternal yang mendorongnya. Ini bukan membenarkan rezim Soeharto, hanya menyatakan fakta bahwa melihat data setelah mempertimbangkan keadaan adalah tugas kita sebagai kaum intelektual.s

Kedua adalah sifat beberapa kebijakan ekonomi yang baru memiliki dampak pada jangka panjang. Dampak ekonomi dari adanya infrastruktur tersebut baru akan terjadi 10 – 20 tahun lagi. Begitu juga dengan penghilangan subsidi listrik dan kenaikan harga BBM, dimana (mungkin) pemasukan negara dari kebijakan seperti ini dapat digunakan untuk menyasar secara lebih baik subisidi tersebut. Evaluasi menyeluruh mengenai dampak jangka panjang dari kebijakan seperti ini terkadang sulit kita peroleh.

Terkadang kebijakan ekonomi yang tepat malah yang merupakan kebijakan yang tidak populer dan merugikan dalam jangka pendek, namun dibutuhkan dan memungkinkan perekonomian bekerja dengan lebih baik dalam jangka panjang. Malah ditakutkan jika pemerintah mengejar kebijakan bersifat “instant” dengan dampak langsung yang malah merugikan perekonomian dalam jangka panjang. Dalam hal ini mengambil kebijakan yang tidak populer justru dapat dilihat sebagai suatu keberanian untuk memperbaiki Indonesia. Ekonomi adalah science of trade-off, untuk mewujudkan sesuatu, kita perlu mengorbankan sesuatu yang lain. Tugas kita sebagai mahasiswa sekaligus intelektual adalah meluruskan kepada publik dan mengkritik kebijakan yang baik. “Baik” harus kita nilai secara objektif dengan hal yang dikorbankan lebih besar dibandingkan manfaatnya, untuk sekarang dan kedepannya.

Cara Kritik Ekonomi

Argumen diatas bukan berarti kebijakan ekonomi pemerintah tidak dapat dikritik. Jauh dari itu. Contoh sederhananya proyek pembangunan infrastruktur yang sedemikian digembar gembor pemerintah. Dengan peningkatan anggaran infrastuktur dari 177,9 triliun tahun 2014 menjadi 387,3 tiriliun pada tahun 2017 dan segala jumlah proyek yang diberitakan, BPS malah mencatat jumlah pekerja sektor infrastruktur mengalami penurunan dari 7,98 juta pada Agustus 2016 menjadi 7,16 juta pada Februari 2017.[2] Padahal kebijakan infrastruktur sebagai public spending seharusnya memiliki initial effect yaitu penyerapan lapangan kerja yang mengurangi tingkat pengangguran. Apa yang mengakibatkan hal ini? Penyerapan APBN infrastruktur pada semester 1 2017, memang angka penyerapan total infrastruktur hanya sekitar 30%, namun pertumbuhan sektor konstruksi pada semester 1 2017 mencapai 6.9%, jauh lebih tinggi dari 5,3% pada tahun 2016. Upah riil buruh bangunan juga menunjukkan penurunan 1,9% di bulan Juli 2017. Artinya proyek infrastruktur pemerintah tidak efektif dalam menyerap tenaga kerja dan mensejahterakan buruh konstruksi, suatu poin yang perlu kita kritik dari kebijakan infrastruktur pemerintah.

Pencabutan subsidi listrik juga dapat dipertanyakan. Menggunakan data Indonesian Family Life Survey (IFLS) tahun 2014, penulis menemukan bahwa rumah tangga dengan pengeluaran per kapita dibawah 426900 per bulan (yang mencakup 25% rumah tangga di data) mengunakan 0,42% pengeluarannya per bulan untuk membayar listrik, sedangkan rumah tangga pendapatan menengah (pendapatan per kapita 436900 sampai 1,1 juta per bulan) menggunakan 0,33% pengeluarannya untuk listrik. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa rumah tangga miskin menghabiskan lebih banyak pengeluarannya untuk listrik dibandingkan rumah tangga menengah. Meski demikian IFLS tidak memiliki data yang dapat membedakan apakah rumah tangga tersebut menggunakan listrik 900 VA atau 450 VA. Survey Susenas yang memiliki data ini berbayar sehingga penulis tidak dapat akses. Namun first-impression penulis dari data ini adalah listrik merupakan presentase lebih tinggi bagi rumah tangga miskin dan peningkatan harganya dengan rate lebih dari 2 kali lipat mungkin tidak berpihak pada rakyat.

Menggunakan sistem data seperti ini, kajian lebih lanjut mengenai besarnya dampak kenaikan harga pada rumah tangga dapat diperjelas, dibandingkan, dan dikaji lebih lanjut. Kenaikan harga cabai yang dibesar – besarkan misalnya. Menggunakan data konsumsi cabai (sekali lagi, dari IFLS) dimana cabai masuk dalam golongan bumbu memasak (termasuk bawang, msg, ketumbar, dan sebagainya) penulis menemukan bahwa golongan ini presentase pengeluarannya tetap lebih rendah dibandingkan listrik untuk seluruh level pendapatan rumah tangga di sekitar 0,3%. Terdapat juga fakta bahwa harga cabai pada bulan Febuari memang cenderung mengalami kenaikan setiap tahunnya.  Menurut penulis ini berarti isu harga cabai terlalu dibesar – besarkan, padahal dampaknya (jauh) lebih kecil dibandingkan kenaikan harga listrik. Mungkin kecenderungan untuk mengeluarkan uang secara rutin dalam memberi cabe yang menjadi lebih mahal memiliki efek psikologis sehingga kita lebih sadar akan kenaikan harganya sehingga lebih dipermasalahkan. Mungkin ini merupakan pengalihan isu sehingga kenaikan harga listrik lebih jarang dibahas. Mungkin krisis cabai merupakan tindakan politik agar kita impor cabai (data produksi cabai mengindikasikan jumlahnya lebih dari kebutuhan). Tugas kita selaku intelektual mahasiswa-lah untuk mengkaji dengan data, mempertimbangkan cost-benefit, kemudian jika dibutuhkan baru mengkritik, baik lembut ataupun keras.

Idealnya pengkajian kenaikan BBM dan STNK juga dilakukan seperti ini. Untuk data mikro lihat besarannya untuk tiap golongan. Kaji lebih lanjut dan tentukan golongan, baik golongan ekonomi maupun hal lain, yang paling diuntungkan dan paling dirugikan. Tentukan benefitnya secara keseluruhan dalam jangka panjang. Untuk data makro, sebelum menyalahkan sesuatu lihat indikator yang relevan. Bandingkan dengan data sebelumnya atau data yang ideal tertentu dari keadaan tersebut. Demikianlah tugas kita selaku intelektual, selaku mahasiswa, untuk menuntut sesuatu yang rasional, menguntungkan, dan realistis demi kemajuan Indonesia bersama.

[1] Lihat misalnya http://katadata.co.id/infografik/2017/01/15/ketimpangan-ekonomi-indonesia-peringkat-4

[2] Jumlah pekerja sektor infrastruktur pada Agustus 2017 belum dipublikasi saat artikel ini ditulis. Pembaca dapat mencari sendiri datanya pada bps.go.id.

 

jasa desain website berkualitas