Hakikat Perbedaan

 

Dalam akun Facebooknya tertanggal 1 Oktober 2014, Tariq Ramadan, seorang pengarang dan akademisi studi Islam di Universitas Oxford, Inggris, menulis status bernada prihatin seperti ini:

Did you know … One of the hallmarks of inner peace, in most difficult moments, is to keep one’s sense of humor and balance. To take a distance, smile and joke in a healthy way … this is “halal”, and there are dozens of examples in the life of the Prophet (PBUH). Learning humor is learning about life, meaning, and even religion. Since it has to do with looking after our well-being, here on earth. To know how to smile is to know how to pray. I fear for the Muslims the death of humor …

Meski kurang jelas dalam konteks humor seperti apakah yang dimaksud, tetapi dapat kita duga Tariq Ramadan prihatin dengan situasi perdamaian dunia saat ini. Sekelompok organisasi yang mengusung ideologi kekerasan menumpahkan darah atas nama Islam. Sekelompok orang yang beragama yang terlalu serius ini ternyata pada akhirnya malah menjauh dari cita-cita dasar Islam yakni menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Ataukah mungkin, Tariq Ramadan menyoroti perdebatan di ranah teologis yang tak kunjung usai? Kini beberapa kelompok ajaran yang meyakini ajaran kelompoknyalah yang paling benar semakin terang-terangan menuduh kelompok ajaran lain yang berbeda dengannya dengan label ‘sesat’. Perdebatan yang kian berujung pada tindak kekerasan dan diskriminasi ini pun telah banyak terjadi di Indonesia, sebut saja penganiyaan pada jamaah Ahmadiyah di Banten dan Syi’ah di Sampang. Sekelompok orang yang meyakini dirinya amat religius ini pun pada akhirnya semakin menjauh dari teladan baginda Rasulullah Muhammad SAW yang penuh kasih.

Jika ditelaah secara etimologis, kata religius yang diambil dari bahasa Inggris, religious, yang sebetulnya berarti serius, khidmat, atau saksama. Dalam teks akademis maupun populer berbahasa Inggris masih lazim kita jumpai padanan kalimat seperti “She reads the passage religiously”, yang terjemahannya adalah “Dia membaca paragraf itu dengan religius”, yang mana “religius” dalam konteks ini dapat diartikan “dengan amat seksama”. Seperti umumnya orang yang membaca buku dengan amat khidmat, orang ini hanya terganggu dengan suara-suara dari luar dan akan mengisolasi dirinya dari gangguan tersebut. Bayangkan saja kita yang sedang asyik-asyiknya membaca dan menunggu kematian selanjutnya dari tokoh di The Game of Thrones tiba-tiba diperintah oleh Ibu untuk membeli gula di warung. Menyebalkan, bukan? Namun, entah mengapa (terutama di Indonesia), termin religius lebih sering diartikan sebagai taat beragama. Contohnya saja kampanye pemilihan kepala daerah beberapa bulan lalu, banyak calon yang menyantumkan kata ‘religius’ di poster-poster maupun balihonya (yang seringkali merusak mata) agar para calon pemilih mengasosiasikannya sebagai pemimpin yang taat beragama dan kemudian dipilih oleh sebagian besar masyarakat kita yang meyakini bahwa seorang ahli dunia (pemerintahan), haruslah juga seorang ahli akhirat (agama).

Atau mungkin bagi kita, cara beragama yang terbaik adalah beragama yang begitu khidmat, begitu seriusnya, hingga tak bisa—bahkan berang—ketika ada suara-suara yang membutuhkan dari sekeliling kita? Saya pribadi tak bisa menjawab.

Kembali pada kegelisahan Tariq Ramadan di atas, saya menduga mungkin saja Tariq Ramadan belum mengenali tokoh-tokoh Islam di negara kita atau agaimana Islam bisa sampai dan diterima oleh masyarakat luas. Islam masuk ke Jawa dengan cara yang amat mulus yaitu berkawin dengan kesenian dan tradisi lokal seperti wayang, macapat maupun tradisi kenduri. Pun tokoh-tokoh agama kita yang berada di masjid-masjid maupun pesantren seringkali menyampaikan hikmah ajaran Islam dalam bentuk humor karena di saat kita menertawakan suatu hal, justru hal itulah yang paling membutuhkan perenungan. Umat Islam Indonesia tidak pernah kekurangan humor dan hikmah ajaran Islam, yang terjadi saat ini hanyalah kita lupa bagaimana caranya tertawa.

Seringkali kita terlalu mengagungkan pemuka agama untuk sampai ke surga, hingga lupa bahwa lingkungan dan orang sekitar kita ternyata bisa lebih mendekatkan kita pada Sang Empunya Cinta. Seperti satu humor yang pernah dilontarkan al-maghfurlah Gus Dur berikut ini:

“Di suatu warung kopi, terjadilah dialog antara pendeta dan kiai. Pendeta mengeluhkan jemaatnya yang malah asyik bermain HP ketika seharusnya mereka menyanyikan kidung jemaat, sementara sang kiai mengeluhkan jamaahnya yang begitu asyik mengobrol saat kiai tengah berceramah Jumat. Tiba-tiba datanglah seorang supir bus Sumber Kencono, sembari menyeruput kopinya, dia berujar, “Saya sih gak perlu ceramah buat bikin orang doa. Tiap saya ngestarter mesin ya penumpang pada komat-kamit semua kok..”

Allohummasholli ‘ala sayyidina Muhammad!

Faradila Al-Fath – Kader HMI FEB UGM, Manajemen 2010