KADER HMI (MPO) YANG TERUS BERUPAYA MENDIDIK DIRI

KADER HMI (MPO) YANG TERUS BERUPAYA MENDIDIK DIRI Ditulis Oleh: Awalil Rizky

Tarian daerah Sulawesi Tenggara mengawali acara pembukaan Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke XXXII pagi ini yang aku hadiri di Kendari. Lokasinya di ballroom Hotel yang dua minggu lalu sempat ikut terberitakan sebagai lokasi Kongres suatu Partai Politik yang berlangsung panas.

Setelah era reformasi, Pembukaan Kongres HMI MPO memang mulai “mampu” diselenggarakan di lokasi yang terbilang “layak” foto. Dan yang lebih penting, memiliki izin resmi dan dihadiri oleh wakil pemerintah dan aparat keamanan. Hanya saja, setelah Pembukaan dan satu dua sesi diskusi, Kongres biasanya berlanjut di lokasi yang lebih mencerminkan “citra organisasinya”. Untuk kali ini akan dilanjutkan di suatu balai pelatihan yang relatif sederhana.

Ingatanku langsung ke masa lalu (maklum sudah tua). Terutama dipicu oleh juga hadirnya Eggie yang merupakan ketua umum pertama jika dilihat dalam perpektif sejarah HMI (MPO).

Aku menjadi satu-satunya panitia teknis (tidak ada panitia resmi) yang melayani peserta Kongres tahun 1986 di Yogyakarta. Semacam kongres darurat yang diikuti oleh sekitar 20-an orang. Beberapa cabang yang tidak hadir nantinya menyatakan persetujuan atas keputusan Kongres dan ikut bergabung dengan HMI (MPO). Termasuk mengakui Eggie yang terpilih menjadi Ketua Umum.

Acara berlangsung secara rahasia di suatu rumah. Konsumsinya membeli makanan matang ala mahasiswa. Selain bertugas membeli makanan, aku melayani kebutuhan minum teh dan kopi. Satu peserta perempuan cukup toleran untuk ikutan membantuku.

Pada tahun 1988, Kongres diselenggarakan di Yogyakarta. Kali ini ada kepanitiaan resmi, yang kebetulan ketuanya adalah aku. Lokasi persisnya di sebuah dusun daerah Wonosari, Gunung Kidul. Tempat itu sebenarnya alternatif keempat yang diputuskan pada hari-hari terakhir. Tiga alternatif sebelumnya telah tercium aparat keamanan dan dijaga agar tak bisa diselenggarakan di sana.

Pembukaan dan acara berlangsung di rumah kepala dusun (almarhum Pak Solikin), yang belum memiliki fasilitas listrik. Sebenarnya daerah yang tak berjauhan telah terjangkau listrik. Konon, pak Solikin dan warganya memang pendukung Masyumi garis keras dan kemudian tak pernah mau dipaksa mengikuti agenda Pemerintah atau memilih Golkar kala itu.

Petromak menjadi alat penerangan di ruang sidang Kongres. Lampu teplok di kamar peserta, yang tersebar pula di beberapa rumah penduduk sekitar. Tak semuanya bisa tidur di kamar. Sebagian tidur di ruang sidang Kongres.

baca juga Apa Penyebab pH Tinggi di Akuarium?

Konsumsinya? Penduduk (dibantu panitia) memasak menu desa setempat. Panitia hanya bisa memberi dana yang minimal ke mereka. Bisa dikatakan bahwa Penduduk Desa mensubsidi Kongres.

Pola demikian tak hanya untuk acara sebesar Kongres. Hampir seluruh acara HMI (MPO) era 1987-1997 dilakukan dengan pola tersebut. Pada era 90-an sebenarnya telah sedikit membaik. Beberapa alumni atau tokoh masyarakat mulai berani menyumbang dana. Sebagian memang masih minta dirahasiakan namanya. Beberapa alumni yang sejak awal mendukung MPO pun, ada yang kehidupan ekonominya terus membaik, dan mau memberi sumbangan berlebih.

Kondisi berubah sejak era reformasi. Acara-acara menjadi lebih terbuka karena tidak lagi dilarang oleh aparat keamanan. Pengurus berbagai tingkatan (Komisariat, Cabang dan Pengurus Besar) telah mulai menerima sumbangan dana dari berbagai pihak secara terbuka. Ditambah lagi, alumni yang “benar-benar” MPO pun terus bertambah.

Lalu, apakah mereka telah berkecukupan atau bahkan berkelebihan dana dalam mengelola HMI? Tenyata, tidak. Tradisi yang membentuk HMI (MPO) belasan tahun membuatnya tak mudah berubah menjadi “organisasi proposal”. Meski tak diharamkan meminta, namun pada umumnya terbilang “tidak agresif” dalam hal pengumpulan dana. Dan cukup jauh dari tradisi “mengantongi” sebagian dana untuk pribadi, yang kadang terjadi pada sebagian organisasi kemahasiswaan.

Anies bercerita padaku, sejak dia menjadi Menteri hingga Gubernur bahwa yang jarang minta dana itu justru HMI MPO. “Berbeda dengan kebanyakan organisasi pemuda dan kemahasiswaan lain yang beraudiensi, mereka memang minta bertemu untuk diskusi,” katanya lagi. Padahal, Anies itu alumni HMI (MPO) sepenuhnya. Dia masuk HMI yang telah MPO, dan turut aktif.

Tentang cerita Anies mungkin hanya untuk menyenangkan aku saja sih. Biar aku tetap bangga dan tak ikutan minta jatah ke dia. Hehehe.

Tentu untuk acara besar seperti Kongres, Pleno PB HMI, Advanced Training, dan acara nasional lainnya butuh dana yang terbilang cukup besar bagi organisasi kemahasiswaan ekstra kampus. Wajar jika mereka menerima sumbangan dari berbagai pihak. Bahkan, kadang dana resmi dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Juga dari tokoh sosial politik atau pengusaha besar.

Entah bagaimana, pada tiap acara besar itu, tak pernah ada satu pihak yang sedemikian dominannya hingga mampu “memaksa” agar hal-hal tertentu diputuskan atau dilakukan. Salah satu sebabnya, sumber dana selalu saja bersifat campuran. Selalu ada sumbangan bernominal kecil (dibanding kebutuhan acara), namun diberikan dengan doa dan cinta oleh beberapa alumni.

Hingga saat ini, tak ada “bandar” yang bisa membeli Kongres HMI (MPO). Moga terus demikian ke depannya.

Aku termenung mendengar berbagai sambutan di pembukaan Kongres HMI (MPO) hari ini. Teringat banyak kritik bahwa apa sih yang telah diberi oleh HMI pada bangsa ini. Kritik tentang sebagian alumninya yang justru menjadi perusak negara. Dalam hatiku berkata, ini organisasi kader yang terus berupaya mendidik para pemuda. Agar mereka menjadi orang yang berguna bagi kemajuan bangsa dan umat Islam.

Sebagian kritik mungkin benar, tetapi aku merasa kebanyakan orang-orang yang aktif di HMI (MPO) telah dan terus berupaya mendidik diri dan memperbaiki diri. Selamat berkongres adik-adikku. Semoga Allah meridhoi dan memberkahi kalian semua.