Mazhab Teologi Pembebasan : antara Agama, Kuasa dan Perlawanan

budak-2

Agama dan tradisi dogmatisme

Agama dalam kehidupan masyarakat menjadi salah satu aspek fundamental, tradisi dogmatis agama dapat mengalahkan segala konsepsi rasionalitas atas dasar iman. Dalam konteks sosial maka agama bisa diperankan menjadi dua hal, pertama, agama dalam konteks profetik untuk melakukan gerakan-gerakan progresif dalam rangka memperjuangkan cita-cita ideal, Kedua, agama sebagai legitimasi untuk menerima dan mempertahankan status quo.

Sejarah dunia tidak pernah lupa dengan berbagai peristiwa besar berabad-abad, dimana agama menjadi alat untuk menggerakan perang besar “perang salib”. Disadari atau tidak agama memiliki sisi-sisi eklusif untuk saling berbenturan, sehingga wajar saja tesis Samuel P. Huntington tentang Class of Civilization menempatkan terjadi pergolakan global akan dasar  agama dan budaya, antara barat, islam dan china. Kosekuensi dogmatisme ini hingga sekarang di beberapa negara muncul dalam wujud dua mata koin prspektif, “terorisme” menurut barat, dan “jihad / perlawanan” menurut islam.

Pembebasan dalam ajaran Agama

Dibalik eklusifitas atas dasar iman, agama juga memiliki dogma-dogma yang profetis, diantaranya adalah dogma tentang pembebasan. Dalam tradisi islam semangat ini terwujud dengan berbagai dogma dalam al quran dan hadist, “Sesungguhnya yang mulia diantara kalian di sisi allah adalah mereka yang paling bertaqwa diantara kamu” Al Hujurat 13. Konsekuensi pelaksanaan ayat ini dalam tradisi kehidupan nabiyullah  Muhammad saw, adalah memangkas semua semua perbedaan atas dasar materi (harta-kekayaan, Nasab “keturunan”, dan jabatan). Meminjam istilah marx maka ayat ini adalah instruksi pada “penghapusan kelas” dalam masyarakat di dunia dengan menegasikan semua yang materi dan membangun perspektif baru yang imateri, dan tidak pernah bisa dinilai oleh manusia. Bahkan ketika nabi melakukan kesalahan dengan lebih menghormati para petinggi Quraisy dibandingkan Ibnu Umi Maktum, yang buta dan miskin, maka allah langsung menegur rasulnya melalui diskusi dalam surat Abasa, teguran keras yang seharusnya berlaku kontekstual tidak hanya untuk nabi tapi berlaku untuk semua orang.

Begitu juga dengan Surat Al Maa’un, yang dengan keras menyatakan orang-orang yang tidak memelihara anak yatim dan memberi makan fakir miskin. Nilai-nilai keadilan juga disampaikan secara tegas “Dan janganlah sekali-kali kebencian mu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Al Maidah 8. Tradisi univesalitas pembebasan melekat pada islam, begitu juga pada berbagai agama lain nasrani mengajarkan cinta kasih pada semua umat manusia sebagai mana misi ruhullah isa ibnu maryam, dalam perjalanan hidupnya. Di dalam Budha pun tradisi samsara menjadi acuan persamaan manusia dengan seluruh semesta raya, dimana manusia rela berkorban demi kepentingan dan kesejahteraan seluruh alam, budha menjadi anti tesis kasta-kasta dalam kehidupan.

Kuasa, Agama dan Perlawanan

Dalam berbagai konteks sosial, ekonomi dan politik, agama mudah sekali dimobilisasikan sebagai instrumen untuk kepentingan-kepentingan sekelompok orang. Tradisi kristen telah menunjukan konsekuensi ketika gereja melakukan kompromi dengan negara guna mendapatkan kuasa. Akhirnya agama justru menjadi alat penindasan paling kejam atasnama iman. Inilah yang dilawan oleh Marthin Luther, dengan lahirnya Protestanian. Begitu juga di tradisi hindu di India, agama pada sejarahnya adalah relasi yang harmoni antar masyarakat dengan distribusi tanggung jawab yang diwujudkan dalam kasta, tapi kemudian dijadikan legitimasi penindasan dari kelas-kelas paling atas. Perlawanan Budha pun muncul sebagai antitesis dari status quo,

Di Islam dalam berbagai konteks masa kelam islam, bisa dilihat terjadinya elitisme dalam berbagai kesultanan-kesultanan islam yang menyisakan ketimpangan dengan kemiskinan rakyat ditengah bergelimangnya harta para sulthan, bahkan sejarah dunia mencatat ketika imperium islam berkuasa, pasukan-pasukan islam yang melakukan perluasan kekuasaan menjadikan semua rakyat khususnya kaum perempuan yang ditawan dijadikan sebagai budak-budak belian dan pemuas syahwat para bangsawan, pembunuhan masal dan seterusnya terjadi. Inilah yang tanpa disadari menjadi sakit hati kesumat dari sebagian peradaban barat terhadap islam dan hampir tidak pernah diceritakan dalam sejarah islam. Padahal tradisi islam memiliki tradisi anti kemewahan dan berusaha melawan perbudakan dengan cinta kasih, inilah yang dilawan dan dikecam keras oleh Syeikh Hujatul Islam Al Ghazali dalam ihya ulumudin, Syeikh Abdul Qadir Jailani dalam shirur ashrar, Syeikh Ibnu Athailah dalam Al Hikam-nya, kesemuanya mengajarkan kearifan, ketawaduan dan kesahajaan hidup. Ketika mereka kalah dari hegemoni kekuasaan dan terpaksa mengasingkan diri, maka pada generasi berikutnya mereka berhasil melahirkan kemenangan Shalahudin Al Ayyubi yang penuh rahmat termasuk bagi musuh-musuhnya, tetapi kemudian dikalahkan lagi oleh keserakanan dan lahirlah gerakan sufi yang melakukan diaspora internasional ke timur, salah satunya di Indonesia dengan mewujudkan islam yang lebih rahmatan ll alamin, sebagai anti tesis dari islam ala sulthaniyah di arab.

Dalam konteks ini memang agama sering menjadi wahana perlawanan sekaligus menjadi legitimasi status quo, tetapi perkaranya adalah sifatnya yang sangat sektarian tetap membekas. Bukti kini konflik di Suriah, Aljazair, Tunisia, Mesir, Arab Saudi, Iraq, Iran, Pakistan dan banyak negara islam, pergolakan politik yang terjadi sangat sektarian. Agenda-agenda perlawanan yang dilakukan oleh gerakan berbasiskan agama kadang menjadi gerakan untuk merebut kekuasaan semata, tanpa menyisakan ruang untuk memberikan komunitas diluar dirinya untuk medapatkan perlindungan dan keadilan, maka pergolakan suni-syiah, islam-kristen, dan seterusnya masih mewarnai pergulatan politik global yang melelahkan hati dan nalar kita.

Teologi Pembebasan, Humanisme dan Keadilan Universal

Setiap agama akan memiliki kontekstualisasi-kontekstualisasi dalam masyarakat, adapun posisinya yang suci terkadang menjadi fana ketika diletakan dalam konteks masyarakat, karena agama adalah instrumental dari kepentingan manusia. Teologi pembebasan yang disuarakan oleh gereja-geraja katolik di Amerika latin memberikan kita satu catatan penting, bahwa agama mampu berjalan diaras perlawanan terhadap status quo, Geraja berubah menjadi alat penyadaran masa, tidak hanya dalam makna dogmatisme, namun dalam kesadaran kritis dan ideologis. Alhasil perlawanan atas status quo terus menerus terjadi dengan organisasi akar rumput, dibeberapa tempat mereka berhasil membawa perubahan penting. Atas dasar agama di Amerika latin, masyarakat marginal berhasil mengorganisir kekuatan dengan berbagai basis untuk mencita-citakan masyarakat yang berkeadilan, tanpa melahirkan sikap-sikap sektarian. Dalam Islam beberapa pemikr seperti Ali Syariati, Ali Ashgar Engineer dan Hasan Hanafi merumuskan pula teologi pembebasan. Namun, tradisi ini kurang mengakar kuat dalam masyarakat. Ali Syariati yang disebut arsitek revolusi iran juga kalah pamor dan terkadang dianggap kubu liberal –terlalu suni– bagi kalangan masyarakat syiah di iran, dan dianggap terlalu syiah bagi kalangan suni. Dalam islam teologi pembebasan baru berhenti sebatas wacana perlawanan atas kondisi aktual, tanpa menghasilkan sebuah gerakan terorganisir. Teologi pembebasan tidak dimaksudkan untuk merumuskan kembali aturan keyakinan dalam agama, atau merevisi dogmatisme agama apalagi dalam konteks aqidah dan ibadah, melainkan berusaha mencari jalan untuk menggerakan agama menjadi jalan pembebasan dalam konteks sosial yang inklusif dan rahmatan lil alamin.

Apakah agama tetap relevan untuk menyelesaikan masalah aktual di masyarakat, atau ia sekedar payung bagi pertarungan-pertarungan kepentingan atas dasar kelompok, kepentingan elit dan dogmatisme? Sebuah kerja yang tak akan habis untuk kita buktikan sepanjang hidup kita, bersama tauhid yang kukuh dibarengi kesadaran yang kompleks dan kritis, mengembalikan Allah SWT dan nabinya menjadi sebuah makna suci yang memberikan inspirasi akan perwujudan keadilan dalam hidup masyarakat yang rahmatan lil alamin

Hafidz Arfandi
Kader HMI Cabang Sleman