Mengurai soal Agni, menguji sensitifitas UGM?

Standar modern ttg pelecehan seksual itu tipis sekali, “Ada atau tak adanya konsensus utk melakukannya” tak peduli apakah itu di dalam atau diluar ikatan pernikahan,

Jika itu terjadi di luar pernikahan tp ada konsensus diantara keduanya ia akan masuk dalam domain ham, sebaliknya, meski ia terjadi dalam ikatan pernikahan tp tanpa konsensus pun akan jd pelanggaran hak seksual (kekerasan/kontak seksual paksa)!

Norma hukum kita masih kurang sensitif terhadap pendekatan ini, hukum akan mudah terjebak dlm menangani tindakan seksual di luar nikah menggunakan stereotype “asusila” (tak lain, ini jg efek dr budaya hukum yg diintervensi adat dan agama, belum seutuhnya afirmatif dg pendekatan modern), jd pendekatan klasik ini akan cenderung menempatkan kedua belah pihak bersalah saat terjadinya kontak seksual di luar hubungan pernikahan kecuali ditemui tindakan paksa atau bahkan kekerasan (yg major; misal ada upaya pembiusan, penculikan, ancaman, bla.. bla.. yg sejenisnya) oleh salah satu pihak baru ia dinyatakan sebagai bentuk “pemerkosaan”

Sdg pelecehan, dianggap bisa dicegah ketika pihak korban menolak, ditandai adanya gerak aktif utk menolak. Ini akan menjadi dasar hukum, bila ia tetap dilakukan maka ada unsur paksa, tp jika terjadi dalam posisi korban diam maka ia cenderung dianggap permisif dan dipersalahkan juga.

Tentu, bisa dibilang pendekatan ini bias gender, ada banyak resiko bagi pihak perempuan khususnya utk bergerak aktif menolak kontak seksual tanpa konsensus, ada rasa malu, geram, panik dan sebagainya yg membuat ia terlambat bereaksi atau bahkan bertahan utk tidak bereaksi!

Sbg contoh, kasus agni (bukan nama sebenarnya) yg diangkat balairung dlm kronologi mencoba utk mengelak tp pd posisi enggan bersikap sampai pd tindakan yg lbh jauh ia berontak, bayangkan jika perasaan yg kacau balau pd agni ini kemudian membuatnya tak berontak, maka ia akan menjadi korban yg semakin sulit utk diposisikan sbg korban scra positifistik, bagaimana pendekatan para positifistik? Ia akan mempertanyakan kenapa korban tidak bersikap dari awal? Kenapa korban di tempat yg salah pd saat kejadian? Narasi ia berada di tempat yg salah tentu mengandung perdebatan serius, ada stereotype bahwa ia memiliki hubungan tertentu, meski kalau kita berpikir lebih sensitif; ada titik agni sedang memberikan kepercayaan pd seseorang yg justru direnggut.

Kenapa tidak berteriak saja? Teriakan pd banyak kasus jurstru berakibat vatal, 1. Pelaku nekat melakukan kekerasan yg berujung pd pembunuhan, 2. Teriakan di tempat yg salah justru menambah masalah, beberapa kasus orang datang bukan menolong malah menjadi pelaku kekerasan baru, 3. Korban dianggap ikut bersalah, memancing, dst.

Teriakan korban hanya akan benar jika ia direspon oleh pihak yg benar, dan korban tidak banyak cukup waktu utk memprediksi, ini mengapa para ahli menyarankan upaya mengalihkan pelaku, dg semprotan pedas ke mata misalnya, atau melakukan serangan ke organ “vital” (yg membuat sementara lumpuh) pelaku agar ada waktu utk korban mengamankan diri dan bertemu pihak yg plg bisa dipercaya.

Hmmm… bagaimana dg kasus ketika dua sejoli, yg dlm konteks punya konsensus kemudian terjadi kontak seksual? Pertanyaannya apakah konsensus itu mesti tercipta sebelum kontak terjadi? Jawabannya relatif, bisa jd konsensus terjadi pd saat sebelum, selama atau sesudah, tp pra kondisi adanya rasa percaya dari dua belah pihak memungkinkan ini terjadi.

Hati-hati, konsensus berpacaran bukan satu paket dg konsensus bertindak seksual, atau sebaliknya konsensus seksual jg tidak berarti memiliki konsensus lebih dlm menjalin hubungan asmara, cinta kasih dan seterusnya. Artinya dua sejoli bisa jd domain pelecehan ketika kontak tidak diakhiri dg konsensus, atau ada satu pihak yg dirugikan!

Agak njelimet tentunya, ini yg membuat pendekatan hukum positif, adat dan agama sulit utk menerima simpulan-simpulan ini. Domain agama dan adat kebanyakan adalah tegas menjaga kehormatan dan keturunan, jd tidak serta merta kontak seksual itu utk kepuasaan satu atau kedua belah pihak tetapi ada yg harus dijaga dari keduanya. Sedang hukum positif jg mempertahankan keteraturan hak-hak sipil soal anak dan keluarga.

Meski hukum nasional di negara-negara barat misalnya telah jauh tidak perduli dg domain keluarga dan tata aturan adat dan agama dalam mereproduksi domain hak sipil, tidak ada ceritanya seorang bayi tanpa ayah atau ibu yg jelas, didiskriminasi secara hukum. Tentu beda di indonesia, untuk sekolah dan melamar kerja di bidang tertentu kita butuh akte kelahiran yg itu tak akan bisa keluar tanpa keterangan ayah dan ibu yg sah dibuktikan buku nikah!

Lalu bagaimana dg sikap soal agni? Dalam soal agni, saya setuju utk titik moderat, memberikan bimbingan korseling pada pelaku dan korban, selebihnya, “agni” sbg korban punya hak ekslusif utk membawa kasus ini ke jalur hukum, dan kampus tidak berhak menghalangi sebaliknya berikan bantuan hukum pd kedua belah pihak, advokasi utk korban yg menguatkan dan utk pelaku yg tentu meringankan, keputusan hukum yg mengikat nantinya bisa dijadikan dasar tindakan hukum terhadap yang bersangkutan (jika dinyatakan bersalah ybs harus di DO sesuai regulasi yg berlaku), sebelum ada putusan hukum yg mengikat dan proses hukum sedang berjalan, berikan suspend administratif pd kedua belah pihak, misalnya; cuti akademik agar secara psikologis tidak menjadi masalah bagi keduanya dlm menjalani aktivitas akademik.

Ke depan hal-hal demikian harus masuk dalam SOP kampus soal penanganan pelecehan dan kekerasan seksual pd sesama civitas akademika, bègitu jg berhubungan dg pihak luar baik ybs sbg korban atau pelaku. Hal ini penting agar kedepannya, orang tua yg menitipkan anaknya utk dididik di kampus biru tak mesti was-was karena kampus sgt sensitif dan protektif pd korban soal hal ini.

Lalu kenapa saya masih percaya dg hukum yg positifis dan tidak sensitif gender? Okey, hukum tak sekaku itu, ia domain yg terus tumbuh dan bergerak tergantung pd para pihak yg terlibat didalamnya. Tentu, dg pendekatan jalur hukum ini akan jd ujian bagi para penegak hukum dan advokat utk mengadvokasi “gagasan” (yg sensitif gender) melampaui sekat pasal dan ayat, keputusan hukum yg baik bisa jd yurisprudensi, yg jika terus didorong dan disahkan akan jd yurisprudensi yg sah di MA dan berlaku mengikat secara nasional (titik yg baik utk menuju revisi KUHP dan regulasi lain berkaitan kesetaraan gender), maka kasus ini akan memberikan hasil positif bagi peradilan di indonesia dlm soal-soal pelecehan seksual, atau lbh sensitif terhadap gender.

Kampus biru dg segala sumber dayanya (fak hukum, psikilogi, filsafat, isipol, dll) seharusnya mampu mendorong peradilan progresif ini, mulai dari tahap penyidikan hingga penyelesaian perkara nantinya didorong utk sesensitif mungkin meski tidak mengorbankan hak kedua belah pihak. Bagi pelaku meski bukan selalu hukuman berat yg didapat tp proses ini akan jd pelajaran berharga seumur hidupnya dan menjadi pelajaran bagi semua orang utk menahan diri tidak melampiaskan hasrat seksual sembarangan karena hukum ada utk menegakan keadilan bagi para korban.

Jika ini selesai dg baik ini akan jadi legacy (warisan) progresif almamater tercinta, tp jika ini semakin buram akan menjadi mimpi buruk bagi masa depan kita, bukan hanya soal ugm tp soal negara hukum yg tumpul kaum intelektualnya, ia akan jd durjana bagi para pencari keadilan!


Hafidz Arfandi
Fisipol UGM 09