Menyelamatkan Pengrajin Tahu Tempe dari Ancaman Melemahnya Rupiah

Mensubsidi kedelai impor, mengurangi ukuran, dan bahan baku kedelai dinilai bisa menjadi solusi menyelamatkan kelangsungan bisnis para pengrajin tahu dan tempe.
tirto.id – Di saat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah Indonesia masih belum bisa memutus ketergantungan impor kedelai. Ketua Asosiasi Kedelai Indonesia (Akindo), Yusan mengatakan ketergantungan Indonesia terkait bahan baku itu berumur panjang, sudah 20 tahun.

“Orang Jawa sudah terbiasa makan olahan kedelai dari AS. Kalau diubah bisa mengubah cita rasa,” ujar Yusan kepada reporter Tirto pada Minggu (9/9/2018).

Selain AS, Brazil, dan Argentina juga menjadi eksportir kedelai untuk Indonesia. Tetapi, kata Yusan tidak terlalu laku. “Enggak cocok untuk lidah orang Jawa. Bentuknya juga berbeda dengan kedelai AS yang biasa dipakai mengolah tahu dan tempe,” terangnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) pada 2017 menunjukkan, total nilai impor kedelai Indonesia dalam setahun sebanyak 2,85 miliar dolar AS. Negara yang dipimpin Donald Trump itu menjadi sumber utama impor yakni senilai 40,49 persen dengan nominal 1,154 miliar dolar AS.

Disusul kemudian Argentina sebanyak 35,69 persen dengan nilai impor 1,018 miliar dolar AS dan Brazil sebanyak 18,82 persen dengan nilai 536,771 juta dolar AS.

Indonesia sebetulnya juga memproduksi kedelai sendiri, tapi pasokannya terbatas. “Katanya Indonesia ada produksi kedelai, dari Kementerian Pertanian selalu ada info kedelai lokal ada. Misalnya di Grobokan tapi belum keliatan di pasar. Pengusaha cari kedelai lokal, tapi enggak ditemukan,” ujar Yusan.

Kalaupun ada, harganya lebih mahal dibanding harga kedelai impor. “Harganya bisa sekitar Rp8 ribuan per kilogram. Mencarinya di pelosok, di desa-desa, dari pengepul ke pengepul,” keluhnya.

Harga kedelai di dalam negeri dari importir, disebutkannya Rp7.000 hingga Rp7.100 per kilogram. Kisaran harga itu cukup stabil sejak Mei tahun ini, jika mengacu pada data Loko Gudang Importir di Jakarta yang dimiliki Yusan. Data itu juga menyebutkan pada bulan Juli tahun ini harga kedelai turun di kisaran Rp6.850 hingga Rp6.950 per kilogram.

Sedangkan pengadaan stok dari seluruh importir tiap bulannya sekitar 150 hingga 200 ribu ton, kata Yusan. Stok itu yang yang digunakan sejumlah produsen tempe dan tahu.

“Kami menjaga stok supaya aman bagi pengrajin [produsen] agar tidak kehabisan. Seandainya harga internasional harus naik dengan kurs rupiah sedemikian lemahnya, ya tentu bagaimana supaya pengrajin ini bisa tetap bekerja dengan kami sediakan terus kedelainya,” terangnya.

Harga kedelai impor mengikuti kurs dolar AS, ketika dolar AS makin menguat terhadap rupiah, maka importir harus mengeluarkan modal lebih banyak. Hal tersebut memicu meningkatnya harga kedelai dan biaya produksi tahu dan tempe naik. Ujungnya berpotensi turut meningkatkan harga saat konsumen membelinya.

“Kalau melemahnya [rupiah] terlalu ekstrem sulit dibendung lah. Tetapi seperti yang saya bilang tadi para importir itu menjamin ketersediaan kedelai di pasaran. Jadi selalu ada walaupun mungkin, karena rupiah melemah, mau enggak mau terpaksa harganya juga jadi tinggi. Tapi yang penting barangnya ada, tidak pengurangan stok sama sekali,” jelasnya.

Namun ia mengungkapkan bahwa, para pelaku usaha pengadaan bahan baku kedelai sudah diimbau oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita untuk tidak menaikkan harga jual ke produsen seenaknya.

Mencari Solusi Alternatif

Melihat kemungkinan buruk dari rupiah yang terus terjun bebas dari asumsi APBN yang senilai Rp13.400 terhadap dolar AS, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, pemerintah perlu menyiapkan langkah untuk mensubsidi pengrajin tempe dan tahu. Sebab mereka menjadi bagian dari pelaku usaha kecil dan menengah yang harus tetap hidup.

Mendorong produksi kedelai lokal, menurut Bhima, tidak efektif sebagai instrumen penolong pengrajin tempe dan tahu di tengah dolar AS yang menguat secara agresif. “Mendorong produksi lokal kalau dadakan bersifat urgensi ya enggak efektif. Bahan bakunya keburu bergerak naik lagi. Itu bisa dilakukan, tapi jangka panjang,” ujar Bhima kepada reporter Tirto pada Minggu (9/9/2018).

Di saat bahan baku bergantung impor dan dolar AS kuat terhadap rupiah, Bhima tidak heran kalau ada pengrajin tempe dan tahu mengurangi porsi kedelai atau mengurangi ukuran produk tempenya. Sebab biaya produksi akan cenderung naik.

Infografik Rupiah Melemah terhadap dolar

Salah satu alternatif solusi, ujar Bhima, adalah menaikkan harga barang atau kurangi komposisinya. Namun melihat kondisi makro ekonomi saat ini, Bhima menilai memungkinkan tempe dan tahu bisa saja tidak laku jika harganya dinaikkan di luar kewajaran. Sebab konsumsi rumah tangga mengalami perlambatan di kisaran 5 persen.

“Ujungnya para produsen memilih strategi down sizing untuk tekan cost, yaitu mengecilkan ukuran tempe atau tahunya,” ujarnya.

Aip Syarifuddin, produsen tempe sekaligus Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo) mengaku melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) belum berdampak langsung kepada para perajin tahu dan tempe. Namun jika situasi ini terus dibiarkan ia cemas melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan membuat harga kedelai impor sebagai bahan baku tahu dan tempe naik serta langka.

“Kami [Gakoptindo] juga deg-degan, tapi fakta yang kami terima harga sekarang masih stabil. Saya bicara apa adanya. Saat ini masih normal, bukan bertahan, karena normal dan bertahan itu berbeda,” tuturnya kepada reporter Tirto, Minggu (9/9/2018).

Aip membantah jika pelemahan dolar membuat para produsen mengurangi ukuran tempe mereka seperti yang disampaikan secara hiperbolis oleh bakal calon wakil presiden 2019, Sandiaga Uno bahwa ukuran tempe sekarang setipis kartu ATM.

“Itu tidak bener Pak Sandiaga Uno. Kalau kripik tempe sih iya setipis kartu ATM. Kalau tempenya sih enggak seperti itu,” sanggahnya.

“Prinsipnya harga kedelai sekarang stabil, biaya produksi stabil, harga ragi tidak naik, gas melon 3 kilogram yang biasa digunakan tidak dinaikkan Pertamina juga.”

Aip mengatakan mengecilkan ukuran tempe atau tahu mungkin saja bisa dilakukan oleh beberapa pihak yang memanfaatkan momen pelemahan rupiah, untuk mendapatkan keuntungan. “Dari sekian banyak [pengrajin tempe dan tahu] bisa saja oknum itu dari anggota saya dan bisa enggak, karena anggota saya jutaan bagaimana saya tahu?” ujar Aip).

Ia menilai meski nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat kian melemah namun hal ini belum mengancam keberlangsungan pengrajin tempe dan tahu. Sebab menurut Aip, harga kedelai dari importir langsung cenderung masih stabil, berada di kisaran Rp7.000 hingga Rp7.100 per kilogram. “Harga kedelai yang kami beli selama tiga bulan terakhir ini stabil saja,” tuturnya.

Aip memperkirakan mengapa harga itu stabil. Menurutnya ialah karena perjalanan impor kedelai dari Amerika Serikat ke Indonesia memakan waktu yang panjang, sekitar 35 hingga 75 hari. Sehingga kurs yang dipakai bukan merupakan kurs saat ini. “Begitu saya cari tahu kenapa harga kedelai enggak naik ternyata di AS harganya turun karena lagi panen. Jadi di AS tren harga kedelai turun, maka kami bisa menerima harga tetap, meski rupiah melemah,” kata Aip.

Oleh: Shintaloka Pradita Sicca – 10 September 2018
https://tirto.id/menyelamatkan-pengrajin-tahu-tempe-dari-ancaman-melemahnya-rupiah-cXXr