Pendidikan Tinggi Fakultas ‘Event’ dan Bisnis

 

Pendidikan dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sampai sekolah menengah akhir selalu ditandai dengan peningkatan tanggung jawab: dari SD yang serasa dituntun oleh guru, SMP yang mulai mengenal OSIS, sampai SMA yang mengenal bermacam organisasi, acara, dan kegiatan. Pendidikan juga dicirikan dengan peningkatan kesulitan materi pelajaran dan peningkatan kemandirian dalam pembelajaran: masih teringat jelas kemudahan materi matematika SD, peningkatan kesulitan di SMA, sampai mati-matian di SMA.

Pola ini, entah mengapa, seolah dipatahkan oleh Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM (FEB UGM): pada saat kompleksitas dan kebesaran event meningkat secara dramatis, peningkatan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas dan kemajuan pembelajaran. Kesulitan pelajaran malah bervariasi untuk setiap dosen. Terdapat kecenderungan kemudahan bagi mahasiswa: (1) hampir seluruh nilai akhir ditentukan oleh UTS dan UAS, dan (2) soal UTS dan UAS bagi beberapa dosen cenderung disamakan dengan soal UTS dan UAS tahun sebelumnya (yang konsekuensinya soal tersebut dieksploitasi habis-habisan oleh mahasiswa). Dapat diprediksi hasilnya: sebagian besar mahasiswa hanya akan belajar pada waktu menjelang ujian atau quiz (yang tidak pernah terjadi untuk sebagian besar dosen). Itu (hasil dari belajar menjelang ujian atau quiz – Red.) pun sering kali hanya terasa seperti ingatan sementara: dilupakan begitu saja ketika ujian selesai.

Ketiadaan pembelajaran yang berkualitas dan minimnya kesulitan pelajaran sangat terasa efeknya dalam mengurangi semangat dan budaya belajar mahasiswa. Logikanya, bagaimana mungkin insentif belajar dapat tercipta tanpa adanya pikiran yang tertantang secara intelektual? Tanpa adanya hal sulit untuk dipelajari dan masalah untuk dipecahkan, semangat belajarlah yang akan terkena dampaknya.

Di koridor gedung kuliah FEB UGM, diskusi ekonomi merupakan makhluk langka, terbatas keberadaannya oleh tugas kelompok (sering dibagikan lalu dibawa pulang begitu saja) dan proker (program kerja – Red.) organisasi. Memang setidaknya masih dimungkinkan untuk meningkatkan kehidupan diskusi dan pembelajaran luar kelas FEB UGM, tetapi hal tersebut masihlah jauh dari upaya untuk menciptakan budaya intelektualitas.

Mungkin hal ini terjadi karena ilmu ekonomi yang diajarkan juga dapat dikatakan masihlah merupakan ilmu ekonomi 101: masih pada teori level dasar, tidak disertai dengan contoh sejarah atau sekitarnya yang relevan, dan sering kali penjelasannya terlampau general. Kekuatan ilmu ekonomi sebagai sains sosial juga tidak ditonjolkan. Jarang sekali fenomena ekonomi di sekitar mahasiswa (misalnya masalah pembangunan taman, fenomena harga di kantin fakultas atau masalah UKT) dan analisis sejarah ekonomi (depresi 1998 di Indonesia, revolusi ekonomi di
Indonesia atau dampak perubahan harga BBM) dibahas. Sedikit dan jauhnya contoh (kasus ekonomi – Red.) yang diberikan justru mempersulit kegunaan ilmu ekonomi sebagai alat analisis sosial bagi mahasiswa karena contoh yang diberikan tersebut membutuhkan pengalaman sebagai ahli ekonomi untuk bekerja (pertumbuhan ekonomi, masalah subprime atau masalah pengangguran). Jauhnya analisis yang digunakan terasa mempersulit mahasiswa dalam mempelajari dan mempraktikan dasar ilmu ekonomi yang diterima.

Apapun penyebabnya, analisis kritis-logis yang seharusnya menjadi ciri mahasiswa ilmu sosial menjadi hanya sebatas visi dan misi. Pemikiran mahasiswa mengenai optimalisasi lingkungan fisik dan sosial kampus saja sangat terbatas, apalagi mengenai dinamika politik ekonomi negara. Alhasil, ketidakmampuan menjadi sebatas persetujuan akan jawaban dosen. Jika tujuan pendidikan adalah untuk menggantikan pikiran yang kosong dengan yang terbuka, pendidikan di FEB serasa memaksa kita untuk menerima pemikiran dosen dalam setiap lembar jawaban kita, bukan
mengkritisi maupun mempertanyakannya. Sebab, hal demikianlah yang diminta oleh lembar jawab ujian kita, itulah sukses yang digariskan sistem pendidikan.

Pendidikan dan perekonomian merupakan komponen penting dalam kemajuan sekaligus indikator kesuksesan bangsa. Sangat mengkhawatirkan jika pendidikan bagi calon pencanang kebijakan ekonomi masa depan Indonesia tidak optimal. Pada akhirnya, tulisan ini hanya merupakan opini salah satu mahasiswa FEB UGM yang merasa kurangnya budaya dan semangat keilmuan di kampus. Opini dari seorang mahasiswa yang saat masuk kuliah merasa bahwa ia masuk hanya demi absensi tanpa mempercayai bahwa ia akan belajar sesuatu hal yang baru pada hari itu. Juga, opini dari seorang mahasiswa yang merasa perlu adanya sedikit perubahan sistem dan budaya pada fakultasnya sebagai awal baru revitalisasi ekonomi Indonesia: revitalisasi itu harus dimulai dari revitalisasi (calon – Red.) ekonomnya∎

Muhammad Imam Adli – Kader HMI FEB UGM, Ilmu Ekonomi 2013