Refleksi untuk menemukan kembali “Politik Islam yang Profetik”

islam-politik2

Banyak orang memperjuangkan syariat, tanpa berusaha memahami maqashidul syariah, perkaranya, ilmu yang dimilikinya kadang tidak digunakan untuk rahmatan lil alamin, melainkan  untuk kepentingan dirinya sendiri. Orang bantai membantai atasnama Allah dan Rasulnya.

Di Suriah, dua belah pihak berteriak takbir atasnama Jihad, di Madura orang membakar rumah dg takbir, Di mesir sebelum mursi jatuh, ikhwan menyingkirkan musuh-musuh politiknya, bahkan tak jarang al Azhar didustakan akibat pembenaran untuk ideologi politik Ikhwanul Muslimin, Lantan dimanakah Agama yang Rahmat untuk sekalian Alam?

Jawabanya sebenarnya agak mudah, tapi rumit dalam praktik,

Menurut Giddens dalam strukturasinya dunia sosial selalu dilandasi gerak continue antar peran agensi dalam struktur yang selalu mendorong transformasi ke arah struktur yang baru, Ada agensi dan struktur, Agama adalah sebuah agensi yang mendorong terjadinya perubahan sosial, jika orientasi islam adalah rahmatan lil alamin, maka agensi muslim harus dilandaskan pada dua hal, pertama, Akhlaq dan kedua, Ukhuwah. Akhlaq berlaku universal terhadap siapapun, sedangkan ukhuwah berlaku mutlak kepada kaum muslimin, “bukan jamaah”. Dengan basis keduanya agensi muslim dengan segala daya dan upaya seharusnya merubah struktur sosial yang timpang menjadi struktur sosial yang penuh rahmat, penuh kasih, baldatun thayibatun warabun ghafur. Dalam Al quran ayat-ayat yang keras dengan kaum kafir selalu ditempatkan dalam konteks perang, dan pengkhianatan-pengkhianatan terhadap norma hidup bermasyarakat, seperti melecehkan seorang muslimah (kehormatan wanita), mencurangi timbangan, riba, dll, Al Ghazali menybut 4 kewajiban hak yang harus dijaga secara sosial, yaitu : jiwa, harta, keturunan dan agama.  Dalam konteks akhlaq, bahkan ada kisah rasul menyuapi seorang yahudi buta dengan lemah lembut walau setiap hari ia mengejeknya

Jika Akhlaq dan Ukhuwah disirnakan, maka syariah seringkali berbuntut malapetaka. Aqidah disalah tafsiri pula menjadi alat pembenaran untuk mengatasnamakan Allah, Di Arab Saudi berapa banyak sesama muslim yang bersatutus TKI diperbudak dan ditindas juga di siksa, diperkosa, dan dibunuh, dimanakah ukhuwah islamiyah sesama muslim yang diteriakan para Syeikh-syeikh yang mulia? Di pakistan sesama muslim saling mengebom, masjid-masjid bahkan dijadikan sasaranya. dan seterusnya. Inilah kegagalan islam menjadi sebuah agama yang rahmatan alamin, bukan karena nilai dan ajaranya yang salah, tapi akhlaq dan ukhuwah yang compang camping dalam komunitas besar umat islam, Ukhuwah tanpa akhlaq pun berubah menjadi sikap sadis pada golongan diluar jamaahnya, walau di dalam jamaah berlaku ukhuwah yang sangat teramat hangat, maka benarlah ketika rasul datang, dua hal yang pertama diserukan adalah “Aqidah dan Akhlaq”. Aqidah yang pertama diserukan bukanlah sekedar menerima allah dan rasulnya sebagai sumber segala sumber, melainkan kemauan tunduk pada ajaran allah dan rasulnya dengan sikap yang tawadu “tawadu bukan taqlid atau siqah buta, tapi menerima dengan penuh penyadaran dan ketulusan”, karena quraisy sekalipun sebenarnya beriman pada allah dan mereka tak mengapa kalau menyebut muhammad nabi, tapi perkaranya nabi yang datang dari mereka justru merusak stabilitas dan status quo politik, sosial dan ekonomi mereka, nabi menuntut persamaan antara budak dan majikan, menyingkirkan berhala yang selama ini menjadi komoditas spiritual bagi mereka, dan nabi baru ini menjadikan mereka tak boleh menumpuk harta, maka perlawanan pun muncul dari kaum yang ingkar, begitu pula dg akhlaq, akhlaq berlaku universal, dan pada giliranya akhlaq adalah wujud dari sikap, pikir dan tindakan, bahkan terhadap musuh sekalipun.

Dalam konteks inilah, politik islam perlu dirumuskan ulang, bukan sekedar memenangkan perolehan suara dan perebutan kekuasaan atasnama tuhan atau menghalalkan segala cara untuk merebut kekuasaan atasnama tuhan, namun nilai-nilai profetik bagaimana berlaku santun sebagai pemenang dan bahkan sebagai pihak yang kalah oposan atau koalisi, bagaimana menggunakan kekuasaan yang ada ditangan penguasa muslim, memberi jaminan keadilan kepada seluruh warga negara muslim ataupun non muslim dan kepada seluruh umat muslim sedunia, membela yang lemah dari kalangan manapun, menghukum diri apabila gagal menjalankan amanah umat, dan seterusnya, inilah agenda besar para akademisi dan cendikiawan muslim untuk merumuskan politik islam ke depan,

Jangan-jangan allah mengggilirkan kekuasaan dunia bukan pada kaum muslim, bukan karena menguji kita untuk bersabar, melainkan mengingatkan kita agar kita mengevaluasi bagaimana menjadi pemimpin yang rahmatan lil alamin, tetapi kita bak seorang yahudi yang terlalu “Percaya Diri” bahwa dirinya pasti benar, hingga ketika sebelum rasul terakhir datang, saat ia ditindas ia selalu berujar kelak akan datang seorang rasul dari kami yang akan menghukum mu dan memenangkan kami, tatapi ketika rasul datang merekalah kaum pertama yang mengkhianatinya, menjadikan rasul sebagai musuh, begitu dalam konteks demokrasi hari ini, partai politik berhaluan islam sering membawa jargon ketuhanan untuk melegitimasi perjuangan politiknya namun dikala ia menang sama jeleknya dengan penguasa sebelumnya, Bukankah dengan aqidah kita menjadikan kita yakin bahwa ketidak adilan, sikap permusuhan dan kemelaratan adalah sebuah musuh yang harus dienyahkan dari muka bumi, pembebasan adalah misi agama untuk manusia, karena agama bukan diturunkan untuk tuhan melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam.

Hafidz Arfandi (Fisip 09)
Kader HMI Cabang Sleman