Reformulasi Nilai-Nilai Islam dalam Kebijakan Publik : Kritik atas Kegagalan Politik Islam di Indonesia (Review Diskusi)

religion-politics

Politik Islam dan Ruang Kontestasi

Politik islam dalam ruang kebijakan publik menurut mas Andi Yanuardi dapat ditafsirkan menjadi tiga hal, pertama, politik islam yang berorientasi representasi keterwakilan umat islam di dalam sistem pengambilan kebijakan publik. Kedua, politik islam yang berorientasi pada formalisasi penegakan syariat islam sebagai hukum positif, dan ketiga, politik islam yang berorientasi pada transformasi nilai-nilai substantif ajaran islam dalam ruang publik. Ketiganya menunjukan pilihan-pilihan orientasi politik islam. Dalam melihat politik islam di Indonesia ketiganya bisa menjadi acuan dalam menilai kegagalan atau keberhasilan politik islam di Indonesia.

Dilihat dari sisi representattif, perdebatan tentang rendahnya elektabilitas partai-partai islam seringkali menjadi masalah, partai-paratai islam pada 2009, mendapat hanya 27% dari total suara, berbeda dengan perolehan suara gabungan partai islam pada 1955 yang mencapai 42% Dari sisi ini dapat dilihat terjadinya kemunduran perolehan suara. Namun, apabila representasi politik islam tidak diartikan sebatas partai islam, melainkan keberadaan aktivis muslim di berbagai partai maka kalkulasinya akan berubah, mengingat para aktivis muslim kini tidak terkonsentrasi hanya dalam jalur politik islam. Maka apakah ini kemunduran atau kemajuan?

Dalam konteks pergulatan tentang beberapa undang-undang, keberadaan  reprensentasi umat islam cukup penting, misalnya dalam penyusunan undang-undang pendidikan nasional, secara formal umat islam berhasil memperjuangkan dimasukanya hak mendapatkan pendidikan agama bagi seluruh peserta didik dimana pun, dan agama apapun. Seringkali, hal ini dijadikan parameter kemenangan politik islam dalam sisi representatif. Namun, dalam segi substatif UU Sisdiknas yang justru menjadi pintu masuk liberalisasi pendidikan jelas-jelas bertentangan dengan ajaran islam yang anti pada liberalisasi pendidikan yang pada akhirnya mencerabut hak dasar warga negara untuk menikmati pendidikan sebaik-baiknya akibat lepas tanganya negara. Masalah representatif juga mengandung banyak masalah, masih banyak undang-undang yang berorientasi liberalilasasi, seperti UU Migas, bahkan ketua pansusnya adalah dari partai islam, dan banyak lagi undang-undang yang bertentangan dengan semangat keadilan dan keberpihakan dalam islam, Partai islam dan partai non muslim, sebagaimana pernah dianalisis oleh chatib basri diawal 2000-an, ternyata sama saja dalam plat formnya, yaitu mempertahankan logika liberalisasi ekonomi. Ketersandungan partai-partai islam dalam korupsi, juga sama persis dengan ketersandungan politisi non partai islam keduanya tidak mencerminkan nilai sikap dalam berpolitik secara islami.

Menyoal Politik Islam dalam Kerangka Negara

Problem tentang politik islam yang menjadi perdebatan bila dianalisis dari sisi negara akan semakin jelas. Pa Abdul Gaffar Karim menjelaskan tiga peran negara yang disepakati oleh para ilmuwan politik, pertama, negara sebagai penyedia layanan publik, kesehatan pendidikan dan infrastruktur. Pelayanan  publik baik pendidikan, kesehatan, dll perlu disediakan oleh negara dengan sebaik-baiknya. Selain itu, Negaralah yang paling bertanggung jawab atas tersedianya berbagai infrastruktur, mulai jalan, pelabuhan, bandara, dll, kedua, negara sebagai pembuat regulasi, negara mengambil peran signifikan untuk mempertahankan ketertiban umum dengan membuat regulasi yang berorientasi melindungi warga negara dari kebebasan warga negara lainya. dan ketiga, negara memfungsikan diri sebagai pemberdaya (enabling), dimana negara memberikan ruang seluas-luasnya bagi berkembangnya masyarakat dalam berbagai sektor, ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Namun, satu hal yang masih terus menjadi perdebatan para akademisi adalah, “apakah negara berhak mengatur moralitas publik?”, belum ada kesepakatan dan terus menjadi ajang perdebatan tentang peran negara dalam mengatur moralitas publik. Dalam kaitanya dengan politik islam seringkali politik islam selalu terjebak dalam wilayah pengaturan terhadap moralitas publik, misalnya maraknya perda-perda syariat yang melarang wanita keluar malam, atau bahkan di Lhoksumawe, melarang wanita duduk mengangkang dikarenakan tidak sesuai dengan marwah Nangroe Aceh Darussalam. Dengan hal-hal simbolis seperti ini muncul pertentangan representasi berubah menjadi otoritas untuk membentuk kebijakan, misalnya jika di mayoritas muslim membuat perda syariat berbasis islam, di Manokwari pernah muncul perda Injil.

Antara Identitas dan Substansi

Politik islam seringkali terjebak dalam wilayah-wilayah ideologis-simbolis. Elektabilitas partai islam yang menurun dikarenakan semangat yang dibawanya sekedar semangat identitas-simbolis semata. Padahal di luar itu, gagasan-gagasan substantif dalam islam sebenarnya bisa menjadi magnet baru yang akan diminati dan berpeluang besar untuk diterima publik. Masa depan partai islam ada di tangan para aktivis-aktivisnya apakah akan mempertahankan perebutan ruang identitas atau bergeser ke ruang transformasi substantif yang tentunya akan membawa warna baru dalam kancah perpolitikan di Indonesia.

Menyoal Definisi Politik Islam dan Kegagalanya?

Terkait, dengan kegagalan politik islam, bagi Mas Hilman Latief menjadi tema menarik yang perlu didalami, Pertama, apa definisi kita tentang politik islam itu sendiri? Kedua, apa parameter kita mengatakan politik islam itu telah gagal? Mas Hilman merujuk gagasan Oliver Roy, dalam The Failure of Political Islam, roy menyebutkan dua terminology penting dalam membaca politik islam pertama, islamisme, yaitu dinisbatkan kepada gerakan-gerakan islam yang berorientasi pada politik kekuasaan, dan kedua, neo-fundamentalisme, yang berorientasi pada menyerukan pembangunan komunitas muslim ideal yang tidak secara langsung berorientasi pada politik kekuasaan. Kegagalan politik islam menurut Roy, diidentikan dengan kegagalan kubu islamisme salah satunya akibat desakan kubu neo-fundamentalisme.

Berbeda dengan tesis diatas, mas Hilman, merujuk pada tiga argument lain, pertama, argument Eickelman dan Piscatory (1998), yang menyebutkan bahwa politik islam tidak hanya bisa dilihat dari partai islam, melaikan perlu dirujuk juga dalam kontestasi identitas keislaman yang diperdebatakan di ruang publik dan kebijakan politik yang beroerientasi pada islam.  Kedua, argument yang diutarakan syafifi maarif (1985)dan Endang Safuddin Anshari (1997) menyebutkan kegagalan politik islam ditunjukan dengan kegagalanya dalam siding konstituante tentang rumusan piagam Jakarta, penolakan terhadap syariat islam merupakan kunci kegagalan politik islam untuk diterima secara bulat di Indonesia. Gagasan ini menunjukan kegagalan dari aspek islamisasi struktur politik, bukan kegagalan politik islam dalam arti partai, karena partai islam justru mencatat prestasi NU dan Masyumi jika digabung menempari jumlah suara lebih dari 40%, selain itu, Roem, dan Natsir pernah menjadi perdana menteri ”posisi politik tertinggi” sehingga tidak secara mutlak bisa disebut kegagalan partai islam. Ketiga, argument yang disebut Bachtiar Effendi (2003) yang merujuk pada penurunan elektabilitas partai islam. Effendi menyebutkan jangan-jangan ada mitos tentang politik islam, mitos tentang besarnya kekuatan umat islam di Indonesia, yang pada kenyataanya memiliki orientasi dan aspirasi politik yang berbeda-beda dan tidak dapat dipersatukan.

Persepsi kegagalan politik islam justru terbantah ketika kita melihat proses islamisasi yang tumbuh pesat yang menghasilkan penguasaan simbol-simbol. Studi yang dilakukan Benin (1997) dan Ichwan (2007) menunjukan justru islamisasi terjadi secara pesat, terutama dilihat dari syariatisasi kebijakan publik, misalkan munculnya perda-perda syariat, undang-undang zakat, dan lain-lain. Penguasaan simbol-simbol islam di ruang publik juga makin marak, pengajian semakin banyak, orang berjilbab makin tren, masjid makin rame, bahkan haji harus antri sampe belasan tahun. Perkaranya, adalah apakah nilai kemaslahatan islam dalam kebijakan publik sudah tercapai? Islam baru dimaknai sebagai simbol dan identitas dan belum masuk dalam artikulasi kemaslahatan publik. Tinjauan tentang ini perlu dirujuk dengan membangun sebuah argumentasi kontekstual dalam mewujudkan maqhasidul syariat di dalam perspektif para aktivis muslim agar islam mampu ditempatkan pula dalam ruang-ruang kebijakan yang berpihak pada keadilan.

Sebuah Tugas Bersama

Pa Gaffar menambahkan Masalah politik sebenarnya bisa berubah-ubah tergantung pada perubahan zaman, namun subastansinya tidak berubah, pertama, adalah representasi, dan kedua adalah kontrol. Keduanya mewujud akibat adanya perebutan sumber daya.  Maka dalam konsep kekinian mungkin partai politik islam bisa diartikan sebatas representasi dimana ada keterwakilan dalam membuat sebuah kebijakan, namun kita belum banyak memberikan ruang-ruang untuk lahirnya kontrol atas politik itu sendiri. Perlu upaya yang lebih sistematis bagi umat islam untuk tidak sekedar memperebutkan representasi politik melainkan diperlukan usaha-usaha untuk memperkuat kontrol terhadap proses politik yang berjalan agar politik tetap pada tempatnya sebagai alat untuk menciptakan kesejahteraan publik.

direview oleh Hafidz Arfandi (Moderator)

Diskusi Oleh HMI Cabang Sleman