Sepenggal Kisah Dedikasi Seorang Guru Besar UGM

Ada sepenggal kisah dari seorang guru besar Mipa UGM, alm. Prof. Nang Seno[1]. Ketika pak Seno mengajar fisika, ia selalu datang sebelum jadwal yang ditentukan kemudian ia menuliskan materi kuliahnya terlebih dahulu sebelum mahasiswa hadir. Ketika ditanya “kenapa anda datang terlebih dahulu, prof?”, Beliau menjawab, “saya tidak mau waktu saya mengajar hilang gara-gara saya harus menulis materi di papan tulis”.[2] Suatu hari sebelum memulai sebuah pelajaran, Pak seno membagikan pada semua mahasiswanya tiga bungkus permen. Pak Seno, kemudian memulai mengajar dengan mempersilakan mahasiswanya makan permen selama pelajaranya berlangsung. Setelah pelajaran hampir usai dia bercerita tentang bagaimana sikap seorang ilmuwan “Seorang ilmuwan adalah orang yang paling paham menempatkan apapun pada yang seharusnya. Seorang ilmuwan yang berbekal jiwa analitik yang kritis akan selalu paham mana yang salah dan mana yang benar, dan ia akan selalu berusaha melihat kebenaran dengan ilmunya”, Setelah berujar demikian pak seno menanyakan pada mahasiswanya “Adakah diantara kalian yang ingin menjadi ilmuwan?”. Selanjutnya ia bekata “Coba periksa, dimana kalian membuang bungkus permen, apakah di laci, di kolong bangku, atau kalian masih bawa untuk nanti kalian buang di tempat sampah?” Inilah sikap intelektual kalian, seorang intelektual akan memulai dari hal kecil dan detail dalam kehidupan sehari-harinya, ia akan mencoba menempatkan dan melihat kebenaran dengan ilmunya dan kritis terhadap kesalahan. Ilmu tidak didedikasikan untuk sekedar memenuhi pekerjaan melainkan menjadi sikap hidup dari dalam diri kita”[3]

Profesionalisme, masihkah ada?

Kisah Pof. Nang Seno mengajar mencerminkan sikap profesionalisme. Sebagai seorang maha guru / guru besar, tidaklah semata ia memberikan berbagai materi pada muridnya, melainkan menawarkan dedikasi dan transfer nilai-nilai hidup. Sikap hidupnya yang konsen pada pengembangan ilmiah di bidang fisika terbukti dengan banyak karya-nya yang sampai diakui oleh Nasa, bahkan ia membangun labolatoriumnya sendiri yang sederhana dan penuh imajinasi di daerah karang gayam, 2 km dari kampus UGM. Sayang, kepiawaian beliau tidak bisa diteruskan bahkan pasca meninggalnya labolatoriumnya terbengkalai hingga kini. Kini mungkin sangat jarang menemukan orang yang berdedikasi seperti beliau. Banyak dosen, guru besar yang menyepelekan pekerjaan utama mendidik para mahasiswanya dan lebih memprioritaskan urusan proyek-proyek, apapun alasanya demi pengembangan pendidikan dan lain sebagainya. Mungkin kita akan sangat bangga seandainya pernah bertemu dengan para pengajar dengan gaya seperti Prof. Nang Seno. Tetapi agaknya belum kita temui, ya, kalaupun belum pernah kita temui, kelak ketika kita memilih mengambil kesempatan menjadi pendidik “dosen” ataupun bekerja apapun kita berharap bisa memberikan kesempatan pada generasi di bawah kita untuk merasakan menemui seorang yang berdedikasi dan itu adalah kita.

Bekerja dengan profesional tak bisa dimaknai sekedar prosedural, sesuai “SOP. Apalagi, dilihat dari status materi yang kita dapatkan. Profesionalisme ada dalam karakter pelakunya, ia tentu saja melampaui standar operasional prosedural. Profesionalisme lahir sebagai sikap melatih diri menjadi seorang ahli “expertise” dilakukan dengan penuh dedikasi dan tercermin hingga sikap yang paling kecil dalam diri kita. Ada atau tidak ada materi ia akan dilaksanakan sebagai sebuah kebahagian dan pilihan hidup. Apapun itu, apakah seorang intelektual, seorang pejabat negara, seorang pengusaha, ataupun seorang tukang kayu, dan tukang batu sekalipun.

Tugas mahasiswa, dan kepeloporanya

Bagi kita, para mahasiswa yang berjumlah tidak lebih dari 3% dari total populasi penduduk Indonesia yang jumlahnya sampai 240 Juta jiwa. Kita adalah wakil dari kelas menengah terdidik, entah dari kelas manakah kita berasal? Kita kini menempati piramida sosial paling atas di negeri ini. Maka di pundak kitalah ada tanggung jawab besar untuk membangun kembali bangsa ini. Entah apapun yang dipilih sebagai pilihan sadar tempat kita berkarya disanalah kita mengemban tanggung jawab professional untuk mengelola negeri ini. Banyak orang terdidik di negeri ini, baik kalangan akademisi, peneliti, para praktisi di berbagai bidang akan tetapi kita kehilangan ruh dalam mengemban pilihan hidup kita. Maka apalah jadinya, negeri sebesar ini mengalami kekisruhan dan ketakberdayaan.

Seandainya dari UGM saja, lahir 10 orang di setiap fakultas (18 fakultas dan sekolah vokasi) setiap angkatan orang yang berdedikasi dengan keilmuwanya maka dalam setiap tahun kita menemukan 190 orang, dan dalam 5 tahun saja, kita akan punya 950 orang ilmuwan yang dedikatif –hampir seribu orang. Maka, untuk memulainya cukup diperlukan 19 dosen terbaik yang tersebar di setiap fakultas yang berdedikasi, ditambah setidaknya 19-40 orang terbaik dari mahasiswa di semua fakultas (tiap fakultas 1-2 orang) yang menjadi pelopor awal maka ke dalam 10 tahun ke depan kita akan paham apa yang terjadi di negeri ini. 10.000 kaum intelektual baru yang memiliki karakter dan semangat moral akan hadir untuk menyemai perubahan di segala bidang. Apalagi jika itu dilakukan disetiap jurusan di kampus UGM, atau lebih besar lagi dilakukan di setiap fakultas atau jurusan di setiap kampus di Indonesia, maka berapa banyak simpul intelektual baru yang akan terbentuk di masa mendatang? Apakah kita siap menjadi bagian dari yang memulainya???

Lakhaulawalaquwata illabillah

[1] Nang Seno, nama aslinya Mohammad Setia Aji Sostroamidjojo adalah ilmuwan terkemuka Fak Mipa UGM, beliau mencatatkan namanya di berbagai jurnal intenasional dan menjadi salah satu ilmuwan Indonesia yang diakui NASA

[2] Kisah ini dituturkan Mas Dadang, salah satu muridnya-muridnya kepada penulis,

[3] Kisah ini dituturkan pak herman salah satu

HMI Cabang Sleman