Debat Pamungkas

Biasanya setiap debat saya coba ulas, kali ini males, krn soal yg dibahas agaknya hanya panggung elektoral “game, syariah, halal, bla bla bla” sesuatu yg seharusnya dibahas di ruang seminar atau workshop dg para stakeholdes bukan di debat calon presiden

saat saya disorong oleh kawan utk ikut kasih masukan pd panelis, saya coba bangun banyak data soal deindustrialisasi, defisit impor migas, impor non migas yg naik drastis shg surplus non migas semakin tipis, 50% lebih impor bahan baku yg masuk ke pasar domestik, dll.

Beberapa panelis mengkritik kami (tidak hanya saya yg bawa data banyak dr kawan2 yg lain, kawan dr pwyp bawa konsep tax ratio kebocoran pencatatan ekspor dibanding nilai impor komoditas di negara tujuan, alternatif energi, dll,kawan dr Kiara bawa data ttg perikanan, nelayan dan pulau-pulau terluar) “mas, pertanyaannya pd presiden harus lebih visioner daripada sebatas itu, yg detail itu level menteri atau bahkan dirjen saja cukup,”

dan saya sepakat dg mengatakan “ya, prof, tp saya hanya berbagi nalar keresahan dr angka-angka yg harapannya akan diformulasi utk menanyakan sesuatu yg membentuk visi besar, misal bagaimana keberpihakan presiden soal industri yg sustain sekaligus punya daya saing, jgn cuma andalkan sumber daya alam dan upah murah, di satu sisi kita sgt butuh investasi tp kita tak rela saudara2 kami terusir dr tanahnya demi investasi seperti di kendeng, kulon progo, dll secara tidak manusiawi tanpa penyelesaian, kita ingin bangun industri tp kredit industri mahal dan sdg fdi rendah, tak mungkin terus mengandalkan utang dg yield yg paling tinggi di asia pasifik, lalu kita kasih ke penyertaan modal negara terus kan?”

Saya menghargai para panelis yg sudah bekerja keras, memang debat ini panelis hanya boleh menuliskan pertanyaan pun diacak dari 5 di masing-masing tema hanya 1 yg ditanyakan pun diundi shg tdk ada skala prioritas. Saya yakin para panelis sdh bekerja sgt keras utk menghardirkan pertanyaan yg tajam soal2 permaslahan kehidupan rakyat shg muncul soal komoditas rendah, tax ratio, tpak perempuan rendah, dll.

Tapi yg bikin kesal ternyata pilihan fokus yg banyak dieksplorasi dlm debat semalam khususnya oleh petahana, tidak lebih visi seorang kepala asosiasi usaha atau bahkan visi kepala bagian atau direktur saja di sebuah kementerian, disanalah rasanya KPU berhasil menyuguhkan debat semalam sbg tontonan yg menarik tp sama sekali tidak menarik utk melihat nalar arah kebijakan calon presiden.

….

Dalam debat semalam satu hal yg penting, soal sandi yg menyebut nama-nama itu sebenarnya semiotika lama dimana para kritikus pembangunan seperti pak sritua arief, pak dawam, pak mubyarto, pak sajogyo, dll sudah lama mencoba mengatakan bahwa kesejahteraan rakyat adalah apa yg riil dilihat di bawah bukan soal angka-angka yg skalarnya mudah diatur (maksudnya anda yang sering utak atik data punya banyak opsi utk mendisplay data, agar punya nada optimis atau pesimis dg membuat pembanding dan mengatur rentang data, dll).

Utk menjawab itu, prof sajogyo misalnya merumuskan kalori utk mengukur kemiskinan 2100 kkal, angka yg dari tahun 80an hingga kini tak berubah sbg komposit garis kemiskinan pdhl pola konsumsi dunia telah berubah sedemikian rupa. 🤣😂 sekali lagi Ini bukan soal pertanyaan atau jawabannya yg bagi ku jg sgt debatable, cuma soal nalar semiotikanya saja.

Sbg cth tingkat pengangguran terbuka terendah saat ini, okey, tp sektor informal mendominasi justru mengalami pelambatan penurunan peran atau formalisasi sejak 2011. Kedua, penduduk bekerja tidak penuh tetap merambat kini angkanya sekitar 38 jt atau 31% dari populasi penduduk bekerja.

Kemiskinan menurun, ya, karena inflasi rendah shg garis kemiskinan relatif stagnan dalam 5 tahun, alhasil terjadi peningkatan org yg dalam kalkulasi statistik diatas garis kemiskinan tp porsi penduduk hampir miskin bertambah.

Soal inflasi rendah shg pertumbuhan lambat, ya, pemerintah sukses mengendalikan inflasi dg kontrol harga tp bukan dg menggenjot produksi yg punya dampak pd daya beli, melainkan pd orientasi pengendalian harga dg supply impor, alhasil ntp naik, ya, karena ntp dihitung dr nilai yg diterima dan nilai konsumsi yg dibayar, dg kontrol inflasi melalui import dan batas pembelian harga yg ditentukan, terjadi penurunan atas laju indeks harga konsumsi, maka wajar ntp naik (harga konsunsi tumbuh lebih rendah sdg harga produksi ditentukan naik proporsional)

Jika ini diteruskan sbg kebijakan ada kekhawatiran efek sampingnya, dimana kita akan mengalami krisis yg paling sulit dan tak pernah terjadi di negara berkembang manapun “krisis akibat daya beli yg ambruk” indikasinya ada pada sektor secondary manufaktur yg haus bahan baku impor dan juga peningkatan impor utk konsumsi terutama pangan baik olahan atau non olahan utk rumah tangga, hal ini jika dibiarkan tentu berbahaya. Krisis finansial bisa ditambal dg utang asal terukur tp krisis daya beli akan sulit dibangun karena infrastruktur produksi riil yg kadung mangkrak lbh sulit lagi utk dihidupkan, biayanya lbh besar dan butuh waktu panjang.

Kontrol inflasi sedianya ada pada titik moderat saja sehingga tidak menggerus produksi secara berlebihan, kita masih butuh pertumbuhan, sampe saat ini pdb kita sekitar 55% didorong oleh konsumsi artinya jika nilainya stagnan karena inflasi turun terlalu cepat, akan sulit kalangan produsen utk mempertahankan pertumbuhan produksinya akhirnya investasi domestik tidak menarik dan suku bunga terpaksa naik utk memacu sektor riil.

Imbas tak langsungnya jika bergantung pd impor, kalau kurs kita mengalami instability (anjlog, akibat capital outflow baik krn faktor internal maupun eksternal) maka harga-harga akan naik tiba-tiba mengingat kita terlalu bergantung pd pasokan impor. Perlu kebijakan yg rada njlimet yg memadukan beragam instrumen kebijakan dr makro, fiskal, moneter, utk mendorong pertumbuhan optimal yg inflasinya tetap terkendali, saya yakin sudah banyak pakar yg mendesain proyeksi dan modelnya sbg target acuan (aku ki gur pendongeng aja) 🤣😂

Para ekonom dan ahli statistik mgkn bisa menjelaskan keadaan dg statistik tp mereka seharusnya tak mengabaikan logika2 utk melihat kenapa angka itu muncul. Saya yakin di lingkar istana jg banyak ekonom yg jeli melihat semua ini hanya saja mgkn kalah dg kemauan Mr. Presiden yg pokoknya ini ini dan ini in quickly,

Sama sekali, bukan saya menolak angka statistik apalagi seperti orang-orang menuduh adanya manipulasi statistik. Karena angka-angka itu cara paling mudah utk melihat gambaran trend, dan satu-satunya alat utk melihat secara luas keadaan yg ada. tp statistik yg jujur dg nalar yg tajam juga punya nyawa daripada sekedar naik turun angka, dan inilah yg harus ada pada mindset pemegang kekuasaan yg bertanggung jawab utk mengurusi rakyat secara riil.

Prof. Widjojo dulu menghadapi kritik yg sama dari koleganya dari sosiologi, ia menjawab “The whole is greater than sum of its parts” ya, saya sepakat dg pendekatan prof. Widjojo karena beliaulah yg justru mengajarkan bahwa tools makro ekonomi sgt berguna utk menyelamatkan nasib rakyat banyak, jika ia dijalankan dg integritas, kejujuran dan tentu kedisiplinan,

Konteks ini muncul ketika prof. Widjojo harus menahkodai ekonomi orde baru yg sblmnya di era orde lama data tdk dianggap penting, bahkan BI dilarang merilis data tahunan oleh presiden soekarno semasa era demokrasi terpimpin 1960-1966 shg data standar diperlukan utk menilai apakah rencana dan kerja pemerintah bisa membuahkan hasil yg memadai.

Di era kini kebijakan harus dibangun utk membangun instrumen yg punya multiple impact secara riil bukan sekedar impact penurunan atau kenaikan angka statistik belaka, “inilah yg disebut rekayasa statistik, dlm arti policy instrumen, bukan dg cara mengotak atik datanya yah, tolong dibedakan”

Pd bagian inilah saya rasa kritik sandi tepat! Sayang, sandi tak berujar apapun soal bagaimana kelak ketika beliau memimpin utk menjawab soal ini, karena di isi kepalanya oke oce is solution for everything. Disanalah gue ngantuk🤣😂

Pelajaran dari debat semalam, “jangan pernah menganggap bahwa statistik itu kebenaran tunggal dan mjd sedemikian sakralnya shg tdk bisa dilihat apa dibalik terbentuknya angka-angka tersebut, ayo kita belajar memahami meta data, dan yg paling urgen, jangan jual data mahal2 laaaah” biar peneliti kere macam saya masih bisa beli (pun patungan) 🤣😂