Demokrasi tak lagi Bertuan

Image

Euforia Demokrasi

Salah satu pertanda penting berjalanya demokrasi di suatu negara adalah adanya prosesi pemilihan umum. Pemilihan umum merupakan instrumen mendasar bagi keberlangsungan demokrasi, dimana rakyat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk ikut memberikan kontrol atas kekuasaan. Pertanyaan mendasar justru muncul, apakah benar pemilu bisa menjadikan aspirasi rakyat terwujud? Jika pemimpin yang terpilih dalam proses demokratis itu justru berkhianat, dengan apa rakyat mampu mengkontrol dalam sebuah mekanisme politik, haruskah menunggu lima tahun berikutnya?

Demokrasi pada dasarnya lahir sebagai anti thesis dari absolutisme kekuasaan, dimana gagasan kuncinya adalah memberikan porsi kepada rakyat untuk menempatkan wakil-wakilnya untuk terlibat dalam penentuan keputusan-keputusanpolitis. Gagasan Montesquieu tentang triaspolitica tidak lain menginginkan sebuah keseimbangan yang didasarkan pada persamaan harkat manusia yang bebas. Kebebasan ini menginginkan agar setiaporang tidak bisa tertindas akibat absolutisme kekuasaan pada segelintir orang yang cenderung korup. Pembatasan kekuasaan terhadap eksekutif oleh aspirasi rakyat (legislatif) dan di lain sisi berdirinya fondasi keadilan yang menyeimbangkan keduanya (yudikatif) dirumuskan menjadi formasi ideal bagi berjalanya sebuahproses distribusi kewenangan. Distribusi akan kewenangan diharapkan menjadi mekanisme control “check and balances”diantara pengemban amanah rakyat.

Demokrasi sebagai instrumen bukanlah sebuah hasil final dari sebuah sistem politik, demokrasi tidak bisa dilepaskan dari dimana ia diletakan. Barringtone Moore (1967), melihat demokrasi tidak lain sebatas konfigurasi yang dirumuskan oleh kontestasi antarkelas sosial di masyarakat. Moore mencontohkan demokrasi perlementer di Inggris berhasil diterapkan akibat kuatnya kelas borjuasi dan melemahnya absolutismekaum feudal, sehingga titik tengah dari keduanya adalah demokrasi parlementer. Berbedadi China yang kaum tani jauh lebih dominan secara politis sedangkan kaum foedalgagal melakukan konsolidasi kekuasaan, akhirnya jatuhlah pilihanya justru padamodel komunisme uni partai. ThesisMoore tentang demokrasi senada tentang gagasan bahwa tidak ada satu pun teoriataupun formulasi sistem sosial yang universal, kesemuanya merupakan sebuahtitik temu ideal dari dinamika proses yang ada di sebuah masyarakat.

Legitimasi Kontestasi Elit

Pasca Reformasi, Indonesia secaralangsung mengadopsi penuh gagasan-gagasan demokrasi liberal ala Amerika Serikatmelalui amandemen konstitusi UUD 1945. Indonesia merubah seluruh sistempemilunya dari sistem perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung “one man one vote”. Sistem demokrasiliberal ini diterapkan dalam situasi euforia demokratisasi dimana seluruhmasyarakat punya aspirasi yang beragam, maka mudah ditebak ratusan partaimuncul seketika dan berduyun-duyun mendaftar sebagai kontestan pemilu. Demokrasiliberal mengajarkan tentang kuantifikasi suara, bukan kualitas dari aspirasirakyat yang diperhitungkan sebagai sebuah dorongan untuk melahirkan kebijakan.Kuantifikasi suara nantinya direduksi menjadi hak partai untuk memperjuangkankepentingan dirinya, terbukti tidak ada satu pun partai yang memiliki platformyang jelas dan dibuktikan dengan kinerja legislasinya.

Sejak pemilu pertama pascareformasi, hingga kini perkembangan demokrasi cenderung meneguhkanprinsip-prinsip liberalistik. Alhasil mudah ditebak, ditengah konfigurasi kelassosial yang timpang, maka segelintir penguasa ekonomi dan politik munculmenjadi elit-elit politik baru. Proses ini semakin menjauhkan rakyat daripelembagaan nilai-nilai demokrasi sendiri. Demokrasi kini dikuasai oleh parapemilik modal yang mengandalkan pembangunan citranya melalui berbagai media. Publikdisuguhi lelucon kontestasi politik yang tidak memberikan ruang bagiinterpretasi maupun internalisasi nilai-nilai demokratis, melainkan sebatasperang pencitraan.

Publik semata melihatkepemimpinan berdasarkan selera yang disetting pasar, bukan kecermatan dalam menilaikebutuhan mendasar akan berbagai problem yang dihadapi bangsa. Demokrasi yangberjalan sekarang direduksi sebatas elektabilitas melalui berbagai survei danpropaganda di berbagai media. Hal ini semakin panas dengan mencuatnya berbagaikasus-kasus korupsi para elit politik dari berbagai latar partai politik, mulaidari yang nasionalis, hingga partai paling agamis sekalipun. Demokrasi Indonesiaseakan adalah mimpi buruk yang mau tidak mau harus dilewati oleh setiapmasyarakat.

Putusan MK, bukan sebuah harapan

Pada titik dimana sistem demokrasi liberal dianggap telah final, keputusanMK tentang pembatalan pasal-pasal dalam UU no 42 tahun 2008, tentang pemilihan umum dianggap menjadi sesuatu yang sangat menjanjikan. Pemilu serentak yangdiinginkan diharapkan memberikan warna baru bagi demokrasi kita, dimana pilihanalternatif pemimpin lebih banyak karena harus diajukan sebelum pemilu olehpartai-partai. Hal ini dipercaya akan mengurangi beban anggaran pemilu,sekaligus menghindarkan adanya transaksi politik dagang sapi, yang memberikanruang partai-partai secara vulgar mentransaksikan suara hasil legislatif untukdukung mendukung calon presiden dengan imbalan berbagai posisi di kementerian.

Putusan MK ini masih banyakberbau politis dan rancuh, penolakan penghapusan presidential threshold (ditolaknya pembatalan pasal 9) disatu sisi,dan pemberlakuan pemilihan presiden serentak (dikabulkanya pembatalan pasal 12ayat 1 dan 2, pasal 14 ayat 2 dan pasal 112) jelas satu masalah dalam sistempolitik, karena dengan mekanisme apa bisa menentukan presidential threshold 20 % jika pemilihan legislatif belumberlangsung. Belum lagi, penundaan pelaksanaan keputusan yang baru diberlakukanpada 2019, jelas mengandung banyak pertanyaan mendasar mengingat putusan inisudah selesai diputuskan mei 2013 dan baru diumumkan januarri 2014. Padadasarnya putusan MK tersebut tidak lain sekedar perbaikan instrumentasidemokrasi yang tidak menyelesaikan akar masalah dari demokrasi kita hari ini.

Kruskridho Ambardi (2010)menyebutkan bahwa sistem politik Indonesia telah terkartelisasi dengan ditandaikecenderungan partai politik yang seragam dan sama-sama menjadi akses untukmelaksanakan perburuan rente. Mekanisme triaspolitica yang ditujukan untuk proses checkand balance justru menjadi ajang perselingkuhan kekuasaan yang salingmenggeliat. Di tengah situasi seperti ini, tidak cukup sebatas perbaikan proseduralperlu perbaikan substansial yang diawali dengan penyadaran berdemokrasi ke segenapmasyarakat secara benar.

Kesalahan terbesarnya adalah ketika semua lembaga,kampus, media dan pengamat politik hanya sibuk melakukan kalkulasi, tanpamemberikan arahan dan penyadaran pada publik bagaimana seharusnya berdemokrasiyang benar. Bahkan, seakan-akan demokrasi sebatas datang mencoblos di TPS,hingga muncul fatwa haram golput. Padahal kunci dari dari demokrasi adalahkemampuan rakyat untuk mengontrol  seluruh penggunaan kewenangan dansumber daya publik oleh seluruh perangkat-perangkat kekuasaan. Tanpa pemahamanakan hakekat demokrasi, rakyat sebatas akan dimobilisasi untuk menjadilegitimasi bagi kekuasaan para elit, sehingga demokrasi tidak lagi bermanfaatbagi tuanya, yaitu “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”.

3 pemikiran pada “Demokrasi tak lagi Bertuan”

Komentar ditutup.