“Food Estate”, Solusi Masalah Pangan atau Masalah Baru?

Penulis: Iskandar Kesuma Pahmi

HMI Komisariat Geografi UGM

Food estate atau lumbung pangan merupakan program pemerintah dalam mengembangkan ketahanan pangan yang mencakup pertanian, perkebunan, dan peternakan pada suatu wilayah. Program ini dicanangkan dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024 oleh pemerintah melalui Kementerian Pertanian dan dieksekusi di lima wilayah yaitu Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, NTT, Sumatera Selatan, dan Papua. Pelaksanaan kegiatan lumbung pangan berdiri di atas lahan gambut seperti halnya di Kalimantan atau berdiri di kawasan hutan produksi dan hutan lindung sebagaimana diatur dalam Permen LHK No. 24 Tahun 2020. Food estate dianggap penting untuk dilaksanakan sebagai imbas berkepanjangan permasalahan pangan di bumi pertiwi. Ketahanan pangan dikhawatirkan sulit tercapai akibat melonjaknya jumlah penduduk yang tidak diiringi dengan pemenuhan pasokan pangan yang berimbang.

Program food estate bukanlah hal yang baru di Indonesia. Asal mula program food estate berawal dari program serta kebijakan pada masa pemerintahan Soeharto yang berhasil membawa Indonesia menjadi negara dengan swasembada pangan pada tahun 1985. Produksi beras saat itu mencapai 26,3 juta ton padahal kebutuhan masyarakat hanya 19,8 juta ton. Namun, predikat swasembada pangan ini tidak berlangsung lama. Produksi beras menurun drastis akibat kemarau panjang dan banyaknya aktivitas alih fungsi lahan ditambah dengan terbatasnya lahan pertanian terutama di Pulau Jawa. Oleh karena itu, dimulailah eksploitasi lahan untuk pertanian dalam meraih kembali pamor swasembada pangan yang hilang. Kalimantan Tengah menjadi pilihan pertama sebagai proyek lahan PLG (Proyek Pengembangan Lahan Gambut)[1]. Lahan gambut merupakan lahan basah yang kaya akan material organik, tetapi memiliki tingkat kesuburan yang rendah akibat pH yang masam dan sering tergenang[2]. Proses pertanian bukanlah hal yang mustahil bagi lahan gambut, akan tetapi proses yang sulit dan pengembangannya harus dilakukan secara sangat hati-hati dan sesuai peruntukan mengingat kendala yang dihadapi cukup banyak[3]. Proyek yang tergesa-gesa ini ternyata digarap tanpa kajian AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Alhasil target yang ditawarkan yang mencapai hingga 1,45 juta Ha hanya terealisasi sebanyak 110.000 Ha alias gagal total. Tidak hanya sampai disitu, proyek tersebut menghasilkan bencana berkelanjutan seperti kebakaran dan bahkan sumber bencana asap selama periode tahun 1997-1998[4].

Tidak hanya sekali, proyek lumbung pangan kembali menemui persoalan di tahun 2010 saat pemerintahan SBY. MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy State) dicanangkan sebagai mega proyek besar untuk menggaet target besar investor swasta dan korporasi. Dalam perjalanannya, proyek ini justru mendapatkan kecaman akibat laju konservasi dan deforestasi hutan yang mengesampingkan relasi sakral rakyat Papua dengan alam. Menurut WALHI, argumentasi pemerintah mendorong program food estate dengan alasan ketahanan pangan seharusnya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan rakyat dan lingkungan hidup. Apalagi bertentangan dengan kekhususan Papua yang ditegaskan dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 dan beragam Perdasus Papua[5].  Hasil yang diberikan pun tak dapat mencapai kata sukses dengan hanya menghasilkan lahan sebesar 400 Ha dari target 1,2 juta Ha. Kejadian di zaman SBY terulang kembali dengan pengadaan proyek Ketapang Food Estate. Lagi-lagi proyek ini kembali gagal dengan hanya menghasilkan 200 – 400 ton berbanding kecil dari target luas lahan 100 ribu Ha dengan hasil 10 juta ton beras.

Sumber: Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian, 2019

Saat ini, program food estate kembali dilaksanakan di lima wilayah Indonesia. Salah satu wilayahnya yakni Kalimantan Tengah kembali digarap di atas bekas lahan proyek PLG. Terdapat beberapa dilema yang tejadi selain dikarenakan oleh lokasi bekas PLG, terdapat permasalahan pada instruksi masa tanam yang tidak sesuai dengan iklim dan bibit padi yang tak sesuai lahan. Hasil panen didapati gagal dengan merosot tajamnya hasil panen. Alih fungsi lahan yang besar pasti akan terjadi di setiap wilayah yang akan dicanangkan sebagai proyek food estate.

Selayaknya banyak wilayah yang teridentifikasi sebagai wilayah potensial pangan direhabilitasi dan dikelola dengan baik melalui prosedural audit lingkungan yang baik dan tidak terburu-buru. Namun kawasan hutan terancam deforestasi akibat alih fungsi lahan yang besar. Rentannya maladministrasi disinyalir juga menjadi permasalahan yang pelik pada proyek food estate seperti legalitas permasalahan KLHS yang tergesa-gesa dilegalkan dan melanggar Undang-Undang Kehutanan[6] dan permasalahan lainnya.  Pengembangan food estate  berjalan di atas banyak kritik yang menimpanya.  Apakah proyek ini akan menjadi kebanggan atau kembali menoreh catatan buruk bagi bangsa Indonesia dalam mencapai ketahanan pangan?


[1] Proyek pengembangan lahan gambut satu juta hektar sebagai strategi dalam mendapatkan kembali titel swasembada pangan di zaman Soeharto.

[2] Sulaeman, D. (2021, Maret 17). 3 Jenis Kategori Lahan Gambut yang Perlu Dihindari untuk Program “Food Estate”. Diakses dari WRI Indonesia: https://wri-indonesia.org/id/wawasan/3-jenis-kategori-lahan-gambut-yang-perlu-dihindari-untuk-program-food-estate

[3] Nugroho, A. (2022, Oktober 6). Pertanian Lahan Gambut Prospek Untuk Dikembangkan. Retrieved from Universitas Gadjah Mada: https://ugm.ac.id/id/berita/23029-pertanian-lahan-gambut-prospek-untuk-dikembangkan/

[4] Raditya, I. N. (2019, September 18). Sejarah Kebakaran Hutan & Lahan di Indonesia Terparah Tahun 1997. Diakses dari Tirto.id: https://tirto.id/sejarah-kebakaran-hutan-lahan-di-indonesia-terparah-tahun-1997-eijN

[5] WALHI. (2021, Juni 28). Food Estate di Papua: Perampasan Ruang Berkedok Ketahanan Pangan. Retrieved from Wahana Lingkungan Hidup Indonesia: https://www.walhi.or.id/food-estate-di-papua-perampasan-ruang-berkedok-ketahanan-pangan

[6] Hariandja, R. (2021, Agustus 7). Ada Dugaan Maladministrasi dalam Proyek Food Estate? Diakses dari Mongabay: https://www.mongabay.co.id/2021/08/07/ada-dugaan-maladministrasi-dalam-proyek-food-estate/

Referensi:

Narasi Newsroom (2021). Pertaruhan Rp6 Triliun Food Estate. Diakses dari https://youtu.be/yAU7bXhzzEo