Kebebasan dan Pertimbangan

 

“Paradoks kebebasan kerap menggiring seseorang pada kegalauan. Proses identifikasi diri adalah kunci untuk menegaskan setiap pilihan.”

Seragam putih abu-abu telah ditanggalkan. Rupa-rupa atribut yang bertahun-tahun menemani aktivitas belajar di bangku sekolah selama tiga tahun itu sudah tersimpan bersama kenangan-kenangan di masa SMA. Semuanya tergantikan dengan seragam bebas yang datang bersama status pelajar yang ditanggalkannya. Tidak hanya seragam, kebekuan pelajaran beserta waktunya juga akan ikut tergantikan dengan kebebasan. Bukan lagi pendidikan dasar atau pendidikan menenah yang akan mereka jalani, tetapi pendidikan tinggi. Begitulah kira-kira gambaran peralihan kondisi dari masa SMA ke masa perkuliahan.

Persoalannya, kebebasan akan membawa konsekuensi tersendiri. Pendidikan tinggi menawarkan berbagai jurusan yang bebas untuk dipilih. Tanpa ditunjang wawasan yang mumpuni, kebebasan itu justru bisa menjerumuskan, atau paling tidak, menimbulkan kegalauan. Contoh paling sederhana bisa terlihat di sekeliling kita. Salah satunya mungkin fenomena pindah jurusan yang sudah tidak asing lagi di kalangan mahasiswa. Alasannya bermacam-macam, mulai dari salah sangka tentang jurusan yang dipilih sampai ketidakcocokan mata kuliah dengan apa yang dibayangkan sebelumnya.

Tak hanya soal perkuliahan, mahasiswa pun kerap mengalami kegalauan kala harus memilih organisasi. Mereka memilih organisasi dan menjadi anggota resmi organisasi, tetapi seiring berjalannya waktu mereka keluar dengan alasan ketidakcocokan pada kultur yang ada di organisasi tersebut. Tentu saja hal semacam ini merugikan, baik bagi si mahasiswa maupun organisasi tersebut.

Salah jurusan dan keluar organisasi menunjukkan betapa perlunya mengetahui kemauan dan kemampuan diri sendiri. Di sinilah kita seharusnya menyadari pentingnya kematangan dalam proses identifikasi diri. Prof. Dr. Fuad Hassan misalnya, menguraikan secara rinci perihal ini. Dalam bukunya yang berjudul Kita dan Kami Suatu Analisa Tentang Modus Dasar Kebersamaan, beliau merunut proses tersebut dalam tiga dimensi ke-diri-an, yaitu pribadi, aku, dan diri. Dalam dimensi pribadi, manusia hadir sebagai individu yang konkret. Individu yang ada dalam suatu komunitas tetapi belum menyadari akan adanya “aku” yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Pribadi dalam diri manusia akan berproses lanjut menjadi Aku.

Istilah “aku” merujuk pada dimensi kesadaran manusia akan adanya suatu identitas dalam suatu komunitas. Tahap ini merupakan awal kesadaran manusia untuk menampakkan identitas dalam bersosialisasi. Mereka berusaha menyadari apa saja yang mampu dan tidak mampu ia lakukan. Mereka juga mengelompokkan berbagai kemampuan dalam dirinya untuk proses sosialisasi supaya orang lain mau menghargai  kemampuannya. Pasalnya, keberadaan orang akan lebih berharga ketika ia mampu memberikan sesuatu kepada orang lain. seperti hadis Nabi Muhammad SAW, khoirunnas anfauhum linnas (sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat untuk manusia lainnya).

Tahap selanjutnya adalah “diri”. Dalam tahap ini manusia berusaha untuk menyadari dan bertanggung jawab atas keberadaan dirinya dalam suatu komunitas. Proses dialog dalam diri sendiri yang ditindaklanjuti dalam perbuatan merupakan bentuk tanggung jawab diri. Tanggung jawab diri mengharuskan manusia untuk bersosialisasi dan membentuk suatu ikatan sosial. Ketika manusia sudah terikat dalam sebuah ikatan sosial, kebebasan manusia akan terbatasi oleh suatu standar nilai dan norma, atau ketertentuan. Ketertentuan-ketertentuan inilah yang membuat manusia bertangung jawab atas keterlibatan dirinya dalam suatu komunitas.

Setelah proses identifikasi diri, pengambilan keputusan, dan bersosialisasi dalam komunitasnya, manusia akan mengetahui kemauan dan kemampuan dirinya. Hal ini penting dilakukan oleh mahasiswa karena ketika bersosialisasi ia mempunyai dua pilihan: terbawa arus atau meninggalkan teman. Terbawa arus karena aktivitasnya yang tergantung aktivitas teman. Ia tidak mempunyai tujuan dan rencana ke depan . Yang kedua meninggalkan teman karena merasa tidak cocok dan bosan dengan kultur yang ada dalam komunitas tersebut.

Kebebasan memang selalu melahirkan paradoks tersendiri. Namun, jalan keluarnya ada pada kesadaran dan pengetahuan akan diri kita sendiri. Segala keputusan, pertama-tama, haruslah tuntas dalam pikiran. Dengan begitu, setidaknya kita telah berusaha untuk bisa “adil sejak dalam pikiran”, meminjam istilah Pramodya Ananta Toer∎

Ahmad Yani – Kader HMI Fakultas Filsafat UGM

 

baca juga :