Hati Sinta Milik Siapa?

 

Ramayana. Dalam cerita Ramayana yang lazim disampaikan sesuai dengan pakem pewayangan tanah Jawa, diceritakan bahwa Rahwana sangat ingin memperisteri Sinta. Padahal Sinta saat itu sudah menjadi isteri Rama. Rama sangat menyayangi Sinta, begitu juga dengan Sinta. Karena tidak ada celah dalam hati Sinta untuk Rahwana, Rahwana berupaya memperdaya Rama dan Laksmana (Adik Rama) supaya bisa menculik Sinta. Penculikan itu berhasil. Sinta diboyong ke Alengkadiraja (Negara Rahwana). Tiga tahun, Sinta ditawan di sebuah kaputren (ruangan dan taman khusus untuk para putri). Dan selama tiga tahun pula Rahwana selalu berusaha membujuk Sinta untuk bersedia menjadi permaisurinya dengan sukarela. Segala daya dan upaya dikerahkan demi memperistri Sinta. Harta, negara, saudara bahkan harga diri telah dikorbankan demi mendapatkan cinta Sinta. Akan tetapi, Sinta tetap menolak rahwana karena kesetiannya terhadap Rama.

Disini saya tidak akan membahas mana yang benar dan mana yang salah, mana baik mana jahat, mana hitam dan mana putih, karena pada hakikatnya di dunia fana ini tidak ada yang benar-benar hitam dan tidak ada yang benar-benar putih. Saya hanya ingin sedikit mengajak para pembaca untuk melihat dari sudut pandang Rahwana sebagai manusia biasa yang tak bisa lepas dari kesalahan dan juga sebagai manusia biasa yang mempunyai hasrat dan nafsu. Sebagian besar dari kita melihat Rahwana sebagai tokoh yang jahat, sedangkan Rama sebagai orang baik yang dizalimi. Itu pandangan orang pada umumnya, sedangkan menurut saya, kita bisa bersikap begitu karena kita selalu menerima wejangan persepi dari orang tua kita bahwa Rahwana itu orang jahat dan Rama orang baik. Kita bahkan menerima pandangan itu begitu saja tanpa pernah mempertanyakan apa saja kebaikan Rahwana dan apa pula keburukan Rama.

Ramayana merupakan cerita imajiner, maka, kita perlu berimajinasi untuk menafsirkannya. Bayangkanlah, Alengkadiraja adalah sebuah negara adidaya yang terkenal sangat kaya dan makmur. Rakyatnya demikian sejahtera, tidak hanya pertumbuhan ekonomi yang digembar-gemborkan, tetapi juga pembangunan ekonominya. Distribusi pendapatan tersebar secara merata. Kondisi politik dan keamanan di Kerajaan Alengkadiraja sangat stabil sehingga banyak orang yang berasal dari mancanegara datang dan akhirnya berdomisili di Kerajaan Alengkadiraja. Menurut sejarahnya, Kerajaan Alengkadiraja tidak pernah memperlakukan kerajaan-kerajaan di sekitar wilayahnya sebagai negara jajahan. Alengkadiraja tidak pernah menyerbu negara lain.

Kerajaan Alengkadiraja memang bukan sebuah negara demokratis seperti Amerika. Kerajaan Alengkadiraja memang merupakan sebuah negara monarki (kerajaan) yang dipimpin oleh seorang diktator luar biasa besar dan sangat luas kekuasaannya, yaitu Rahwana. Kerajaan besar ini bahkan tidak memerlukan adanya Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuat berbagai undang-undang. Segala aturan dan undang-undang cukup ditangani oleh Rahwana yang dibantu sejumlah pejabat tinggi kepercayaannya. Sejak Kerajaan Alengkadiraja berdiri, tidak pernah ada berita negatif sedikit pun yang menyatakan bahwa Rahwana pernah menzalimi rakyatnya. Begitu juga para pejabat tingginya, sebagian besar selalu mempunyai track record yang baik, adapun beberapa pejabat yang didapati melakukan penyimpangan atupun pencurian akan dijatuhi hukuman qisas (potong tubuh) layaknya di Arab. Bagi rakyat Alengkadiraja, pemerintahan diktatorial justru jauh lebih baik daripada pemerintahan demokratis yang centang-perenang dan tak jelas juntrungannya.

Rahwana sangat menginginkan Sinta sebagai permaisurinya. Sebagai manusia, itu merupakan hal yang wajar. Namanya juga naksir. Malangnya Sinta sudah menjadi istri orang lain. Peristiwa Rahwana menculik Sinta itu memang kekhilafan fatal yang dilandasi rasa cinta yang membara. Segala cara bisa ditempuh. Kalau tidak begitu, malah dipertanyakan orang, “seberapa besar cintanya?” Kata pepatah “cinta itu buta”. Orang yang benar-benar jatuh cinta akan berada pada kondisi hilang akal rasionalnya. Anda hanya bisa mengingat satu hal yaitu pria atau wanita idaman anda. Secara ekstrem, anda tiba-tiba berubah menjadi manusia yang berani mati demi sang pujaan hati.

Tidak seperti biasanya, Rahwana akhir-akhir ini sering terlihat duduk termenung sendu saat sedang sendirian di Istana Alengkadiraja. Tidak ada yang berani menanyakan kepadanya tentang apa yang telah membuatnya gundah dan bersedih. Banyak orang hanya menebak-nebak saja di dalam hati dan tidak pernah berani mengungkapkkannya secara terbuka karena takut melukai hati orang nomor satu di Alengkadiraja tersebut.

Diam-diam, ternyata banyak juga rakyat Alengka yang ikut merasa sedih atas apa yang sedang menimpa Raja tercintanya. Pendapat mereka terpecah menjadi dua. Sebagian mengatakan bahwa Rahwana sebagai seorang raja besar tidak sepantasnya menculik Sinta meskipun ia sangat mencintainya. Namun, sebagian lagi merasa bahwa seorang Rahwana adalah seorang laki-laki sejati yang berani mengambil risiko apapun demi cinta matinya kepada Sinta.

Meskipun mereka tahu bahwa tindakan itu salah, secara umum rakyat Alengkadiraja tetap berpendapat bahwa bagaimana pun juga Rahwana adalah laki-laki sejati yang menjadi dambaan setiap wanita. Ia dimimpikan oleh banyak wanita karena keteguhan dan ketegaran sikapnya. Rahwana bisa disebut sebagai seorang laki-laki ideal pujaan hati wanita.

Tiga tahun Sinta hampir setiap hari bertemu dengan Rahwana. Selama tiga tahun tersebut Rahwana selalu bersifat sopan dan penuh perhatian terhadap Sinta meskipun selalu penolakan yang didapatkannya dari Sinta. Sinta sebenarnya juga berpikir bahwa jika Rahwana benar-benar orang jahat, maka, pada hari pertama saat ia diculik, bisa saja ia langsung diperkosa dan ditinggalkan begitu saja oleh Rahwana. Namun, kenyataannya, Sinta tidak pernah mengalami hal itu. Bayangkan, sebagai seorang pria normal, seorang raja adidaya yang mempunyai kuasa penuh atas negaranya, selama tiga tahun menyekap seorang wanita berparas bidadari bertubuh indah yang didambakan berjuta pria, tidak pernah sekali pun menyentuh ataupun menjamah wanita tersebut. Sungguh nafsu Rahwana telah dibutakan rasa sayangnya terhadap Sinta.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, tahun pun berganti tahun. Rasa rindu mendalam Sinta pada suaminya sedikit demi sedikit berubah menjadi rasa ragu. Sinta terkadang berpikir, bagaimana seharusnya sikap seorang suami jika istrinya diculik. Terjadi perang logika hebat di dalam benak Sinta. Secara logis, jika seorang lelaki sangat mencintai istrinya, dan tiba-tiba isterinya diculik, maka, yang harus dilakukannya adalah segera mengejar dan berusaha mencari istrinya. Namun, dari berita-berita yang diterimanya, Rama ternyata tidak segera melakukan upaya mencari dirinya. Bukankah ia adalah titisan Dewa Wisnu? Bukankah Rama juga sakti? Mengapa ia tidak melakukan usaha apa pun saat isterinya diculik? Mengapa Rama malah mengutus ‘agen rahasia’ yang bernama Anoman untuk menemui dirinya? Mengapa perintah Rama kepada Anoman, adalah supaya mengabarkan bahwa Rama dalam keadaan baik-baik saja? Mengapa Anoman hanya diutus menyerahkan sebuah cincin kepadanya? Mengapa Anoman tidak diperintahkan untuk ‘menculik’ Dewi Sinta dan membawanya kembali ke Ayudia? Hal ini terkadang menyebabkan pikiran buruk muncul dari benak Sinta. Pikiran buruk itu selalu saja datang sendiri setiap kali ia merenung. Sesekali ia sempat juga berpikir bahwa Rama bukanlah lelaki sejati. Bagaimana bisa seorang lelaki sejati bisa membiarkan isterinya diculik lalu disekap di kaputren Negara lain selama tiga tahun dan Rama tidak melakukan upaya apapun.

Sinta juga manusia biasa. Seiring berjalannya waktu, kebaikan, perhatian, dan rasa sopan Rahwana, secara pelan tapi pasti mulai menghantui malam sepi Sinta. Saat Rahwana datang menemuinya, sesekali sempat juga ia memperhatikan tubuh Rahwana yang proporsional, gempal, berotot, dan atletis. Bahkan tubuh Rahwana jauh lebih tegap daripada Rama. Rahwana, jelas jauh lebih macho dan tentu bisa membuat setiap wanita mabuk kepayang. Sebagai seorang wanita muda yang sudah sekian lama tak tersentuh lelaki, Sinta beberapa kali juga sempat merasakan detak jantungnya tiba-tiba berdegup keras tak terkendali. Bulu kuduknya seringkali berdiri meremang saat tak sengaja membayangkan tubuh Rahwana menyentuh dirinya.Bukan karena takut, tetapi karena terbuai oleh bayangan indah yang tiba-tiba merangsek ke dalam benaknya. Keringat dingin mengucur begitu saja di seluruh tubuh Sinta. Tubuhnya tiba-tiba berubah menjadi panas dan seketika otaknya tidak lagi bisa berpikir jernih. Ada gejolak yang tiba-tiba menyeruak tanpa bisa dikendalikannya. Badannya bergetar hebat, lidahnya terasa ngilu dan sukar untuk berkata-kata. Jari-jari tangannya yang lentik tiba-tiba menjadi gemetar. Tubuhnya lemas dan seakan tidak mempunyai kekuatan untuk menggerakkannya. Hatinya sejenak menjadi resah dan gelisah. Saat ia menjawab pertanyaan Rahwana, kalimat yang terlontar dari mulut mungilnya begitu bergetar, sehingga saat mengucapkannya menjadi terbata-bata. Untunglah, Rahwana menganggap kalimat yang diucapkan terbata-bata itu sebagai ucapan seseorang yang sedang dilanda ketakutan hebat. Andai saja Rahwana tahu apa yang sedang dirasakan Sinta, mungkin cerita Ramayana tak akan seperti sekarang ini…

Mari kembali ke dunia nyata. Sedikit bersantai dulu Mas, Mbak. Kripiknya digigit dulu, tehnya diseruput dulu. Kalau sudah seperti cerita di atas kan repot, mana yang baik mana yang buruk. Jangan terlalu percaya pendapat orang lain. Kadang kita perlu melihat sisi buruk apa yang kita anggap baik juga sisi baik dari apa yang kita anggap buruk, karena tidak ada yang benar-benar baik dan tidak ada yang benar-benar buruk. Cobalah kita menilai sesuatu tidak hanya dengan pikiran tetapi juga dengan hati nurani, karena sesungguhnya kebenaran mutlak hanya milik Allah SWT∎

Yudhistira Nurdian – Kader HMI FEB UGM, Akuntansi 2011