Siapa Dirimu?

 

Of all the tyrannies of human kind, the worst is that which persecutes the mind. (Dari semua tirani yang dialami umat manusia, penindasan pikiran adalah yang paling buruk)” – John Dryden

Berapa kali lagi aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan sinis kalian? Sudah kutegaskan aku tidak punya mimpi-mimpi seperti kebanyakan orang saat ini.Tidak seperti kalian. Apa aku salah? Kenapa kalian harus memaksaku untuk sama seperti kalian? Kenapa kalian harus memaksaku untuk ikut bermimpi seperti kalian?” kata Rembol membela diri.

Rembol adalah mahasiswa tingkat akhir di salah satu fakultas favorit di kampus ternama di negeri ini, status yang dianggap mentereng oleh banyak orang dan penuh gengsi. Teman-teman Rembol menganggap pandangan Rembol tentang masa depan sebagai keanehan. Bagi kebanyakan teman-temannya, status mereka adalah kebanggaan sehingga tidak sepatutnya Rembol menganggap status itu biasa saja atau malah tidak bernilai sama sekali.

Beda halnya dengan Rembol, status itu membuat kebebasannya tersandera. Konstruksi sosial justru menghantui. Seolahnya menjadi rambu-rambu penentu hidup Rembol. Alih-alih berlagak seperti kebanyakan temannya yang cenderung glamor, Rembol merasa tidak nyaman dengan kondisi itu. Dia berpikir bahwa ada kesalahan mindset terjadi saat ini. Seharusnya, kita hidup menjadi manusia-manusia otentik. Status tidak selayaknya menjadi alat penilai martabat manusia.

Seperti kebanyakan orang, teman-teman Rembol pun memandang sinis ucapan Rembol itu. Apalagi kali ini Rembol bicara tentang pandangan hidup. “Tahu apa Rembol soal hidup. Harapan saja dia tidak punya,” kata salah satu temannya. Bagi mereka, status sebagai mahasiswa di kampus itu merupakan legitimasi atas masa depan dan karier yang cemerlang, entah di pusat-pusat pemerintahan maupun perusahaan-perusahaan bonafide dengan nama mentereng.

Rembol tidak menyalahkan teman-temannya. Dia juga tidak membenarkan dirinya. Tidak ada yang salah atau benar dengan status-status itu karena yang membuatnya menjadi salah atau benar adalah perlakuan kita.

Rembol hanya ingin teman-temannya berpikir. Setiap manusia bertanggung jawab atas pilihannya. Kebanyakan orang melangkah tanpa tahu konsekuensi pilihannya. Kebanyakan orang hanya mengikuti konstruksi sosial. Konstruksi yang sering kali mengintimidasi tanpa kita sadari. Kita sering tidak memperhatikan makna yang melekat dari setiap pilihan yang kita ambil. Kita pun menjadi manusia tidak sejati. Kita memilih dan melakukan sesuatu, tetapi tidak tahu hakikatnya. Ini ibarat kita bepergian, tetapi tidak tahu alamat yang kita tuju.

Pun banyak dari kita yang melupakan hakikat kita sebagai manusia. Kecenderungannya, kita merasa paling tahu dan paling benar atas pilihan kita. Padahal, jika kita telisik, kita masih latah atas berbagai fenomena yang terjadi. Pada beberapa kasus, kita cenderung menerima mentah-mentah berbagai fenomena, baik itu suatu informasi maupun berbagai atribut kehidupan. Lihat saja bagaimana kita mudah terbawa life style. Lihat saja bagaimana kita mudah larut dalam ingar-bingar informasi yang sebetulnya memiliki bobot rendah atau justru tidak berbobot sama sekali bagi hidup kita.

Pada level yang lebih luas, seperti negara, kelatahan kita juga terjadi secara lebih masif. Kita mudah terbawa hiruk-pikuk situasi. Kita mudah menghakimi persepsi. Bahkan, dengan semangatnya kita mau dihadapkan pada sekat-sekat pro dan kontra. Lalu kita saling bertengkar dan saling menyalahkan satu sama lain karena kita berbeda. Kita melawan saudara-saudara kita sendiri untuk urusan remeh. Namun, sejenak berlalu, kita hanya akan melupakannya sama sekali.

Berbagai peristiwa terjadi hanya seperti lalu lintas kendaraan di jalan raya. Kita tak sempat memikirkan makna di dalamnya. Lebih parah lagi, kita tak sempat untuk mempertanyakan apakah suatu hal itu perlu kita pikirkan atau tidak. Sedemikiankah latahnya kita?

Begitulah isi kepala Rembol. Kini, Rembol kembali merenung. Sebuah ruangan yang menantang mendung di sore hari membuat suasana semakin mendukung. Rembol terlarut dalam dialog seru yang berjalan di pikirannya. Seuntai pertanyaan muncul:

“Siapa dirimu?”

“Siapa dirimu?”

“Siapa dirimu?”

Pertanyaan itu terus berulang-ulang dari percakapan di alam pikirannya. Entah dari siapa, Rembol hanya bisa menjawab dengan sebuah pertanyaan:

“Siapa diriku?” 

Mahesa Cempaka – Pringgading, 15 Rejeb 1948 Ehe