Demokrasi Ditengah Polemik Politik Identitas

Fenomena pasca pilkada DKI Jakarta 2017, polemik politik identitas menjadi begitu populer. Terlebih, politik identitas yang menggunakan narasi agama. Buntut dari turbulensi politik yang terjadi akibat politik identitas di tahun 2017 adalah pembubaran kelompok-kelompok agama yang dianggap bertentangan dengan asas Pancasila. Dalam kadar tertentu, kelompok-kelompok tersebut kerap berseberangan dengan pemerintah sehingga pembubaran tersebut kerap dianggap mengandung unsur kepentingan rezim. Salah satunya adalah upaya pemerintah untuk membubarkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI pada 2017 dengan alasan sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif dalam proses pembangunan nasional serta menganggap kegiatan yang dilaksanakan organisasi ini bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri Pancasila dan Undang-Undang Dasar.

Pada bulan Oktober 2018, oknum Barisan Ansor Serbaguna atau yang lebih dikenal dengan Banser diduga melakukan pembakaran bendera yang berlafal kalimat tauhid di Garut. Ketua GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas memberikan penjelasan bahwa motif pembakaran tersebut karena bendera dengan karakteristik demikian lekat dengan bendera HTI. Peristiwa pembakaran tersebut juga diklaim sebagai respons akibat munculnya bendera HTI dalam acara hari santri di berbagai daerah. Guna menanggapi peristiwa tersebut, pemerintah merespon dengan langsung menggelar rapat kooordinasi yang melibatkan Kapolri, Jaksa Agung, Kemendagri, Kemenkum HAM, MUI, dan perwakilan PBNU.

Beberapa organisasi yang terkait dan berkepentingan seperti PBNU dan MUI, pada akhirnya menyebut bahwa persoalan ini tidak perlu dibesar-besarkan dan dipermasalahkan. Mungkinkah Banser kembali menunjukan vigilantismenya terhadap kelompok minoritas yang jelas-jelas sudah tidak mempunyai kekuatan hukum sekalipun melalui pembakaran lambang bendera HTI. Jika selama ini pemerintah bersama NU mengampanyekan apa yang disebut sebagai islam nusantara yang berkarakter moderat dan toleran, maka kini hipokrit politik identitas justru muncul dari tindakan pembakaran bendera oleh oknum Banser. Peristiwa tersebut kemudian direspons oleh mantan Juru Bicara HTI Ismail Yusanto sebagai wujud tindakan kebencian yang tidak normal. Ia beranggapan, kalaupun benar itu bendera HTI, tidak seharusnya Banser melakukan pembakaran. Atas insiden tersebut, pemerintah pun langsung mengambil respons dengan menggelar rapat koordinasi yang menghasilkan beberapa kesimpulan. Melalui Menko Polhukam, pemerintah menganggap bahwa peristiwa pembakaran tersebut akibat adanya penggunaan kalimat tauhid oleh HTI sebagai ormas yang dilarang keberadaannya yang muncul dalam acara hari santri di berbagai daerah.

Sebagai kelompok paramiliter, Banser saat ini bisa saja dekat dengan kekuasaan karena posisinya sebagai badan semi otonom NU. Hal ini terkait dengan dukungan pengurus PBNU seperti ketua umum mereka, Said Aqil Siradj kepada pemerintahan. Apalagi, Ketua Umum GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas menjadi caleg PKB, salah satu partai pendukung Jokowi. Hipotesis tersebut bisa saja relevan jika merujuk pada argumentasi Jasmin Hristov dalam bukunya yang berjudul Blood and Capital: The Paramilitarization of Colombia. Ia menjelaskan bahwa istilah “para” dari kata paramiliter adalah merujuk pada keterlibatan peran negara dalam upaya membentuk sebuah kelompok yang bergerak secara diam-diam dan memiliki kapasitas memaksa dan menindas. Menariknya, peran negara tersebut dilakukan secara tertutup atau disebut sebagai invisible hand of the state.

Hal tersebut sejalan dengan argumentasi John W. Green dalam bukunya yang berjudul A History of Political Murder in Latin America: Killing the Messengers of Change yang menjelaskan bahwa kelahiran paramiliter tidak terlepas dari kepentingan politik kaum elite penguasa yang merasa terganggu karena basis ekonomi-politiknya terusik. Sehingga kelompok-kelompok paramiliter menjadi salah satu tameng yang pada saat tertentu akan digunakan  untuk kepentingan penguasa.

Namun pembelaan pemerintah tersebut pada akhirnya bertolak belakang dengan asas demokrasi yang selama ini menjadi salah satu nilai kebangsaan Indonesia. Menurut  Sidney Jones dalam buku yang berjudul Sisi Gelap Demokrasi, salah satu keindahan dari demokrasi adalah bahwa ada ruang untuk kelompok yang kita tidak setujui, bahkan kelompok-kelompok yang kita anggap menghina. Dengan melihat tindakan pemerintah yang melakukan kontrol terhadap organisasi yang memiliki pandangan kontra nasionalisme serta pembenaran atas tindakan paramiliter layaknya Banser, diskursus demokrasi patut untuk di pertanyakan kembali.

Secara garis besar politik identitas pun akan memunculkan paradok, menurut Jonathan Matthew Smucker, seorang ahli organisasi dan strategi politik dari University California Berkeley, identitas kelompok yang kuat adalah pedang bermata dua. Semakin kuat identitas dan kohesi sebuah kelompok, maka semakin besar kemungkinan orang untuk menjadi terasing dari kelompok tersebut dan inilah yang disebut paradoks identitas politik. Paradoks identitas politik menunjukkan bahwa pada saat kelompok-kelompok politik membangun identitas internal yang kuat dalam menumbuhkan komitmen perjuangan politik yang efektif, kondisi tersebut pada akhirnya cenderung mengeksklusi kelompok tersebut dari masyarakat luas.

Dalam kontek Banser, ada pola eksklusivisme yang akhirnya membentuk narasi kekitaan yang terbentuk berdasarkan dikotomi kelompok NU dan non-NU yang pada akhirnya mengalienasi kelompok-kelompok yang hidup diluar lingkaran kelompok mereka. Dengan eksklusivisme tersebut, pada akhirnya segala tindakan, meskipun itu berpotensi menyakiti kelompok minoritas, menjadi sah dan legal, terlebih jika kelompok tersebut didukung oleh legitimasi pemerintah.

Baca,   Oesman Sapta : Ruang Demokrasi Sering Disalahgunakan

Bahkan, apa yang dilakukan Banser pada akhirnya juga mengarah pada upaya vigilantisme yang memunculkan narasi musuh bersama, dalam konteks ini HTI, sebagai kelompok yang secara halal boleh untuk dihina dan dipersekusi. Secara tidak langsung, insiden ini bahkan berpotensi kembali menguatkan sentimen politik identitas di Indonesia. Padahal, selama ini predikat vigilantisme begitu lekat dengan sosok FPI yang digambarkan oleh banyak pihak sebagai organisasi premanisme islam yang terlibat pada agenda-agenda intoleransi dalam politik Indonesia.

Lalu apa bedanya Banser dengan FPI jika ia menggunakan legitimasi pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi menyakiti kelompok minoritas dan bahkan berpotensi menyulut bara api politik identitas. Idealnya, tentu, siapapun tidak ingin bara api itu menyala kembali namun narasi politik identitas malah menjadi semakin kuat menjelang pilpres tahun 2019.

Bagaimana pun perkembangannya seharusnya politik identitas perlahan mulai di kurangi agar demokrasi Indonesia menuju demokrasi yang partisipatif artinya seorang memilih pemimpin bukan dari kehendak kelompoknya namun karena program-program yang ditawarkan oleh calon pemimpin. Sehingga hal ini akan mejadi angin segar bagi perjalanan demokrasi Indonesia namun jika para elite politik masih memainkan isu politik identitas, bukan tidak mungkin demokrasi Indonesia akan semakin mundur dan berbahaya.

Mahfut Khanafi. Direktur Kenanga Institute.  Staf Komisi PB HMI (MPO) 2018-2020