Industrialisasi Semu Indonesia

Struktur perekonomian Indonesia mengalami pergeseran. Semula Indonesia digadang sebagai negara agraris berbasis pada sektor pertanian, kini lambat laun bergeser menuju sektor industri. Transformasi struktural perekonomian Indonesia semakin terasa sekarang ini. Perekonomian dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu tradable dan non-tradable. Sektor tradable merupakan sektor penghasil barang, terdiri dari sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, dan sektor industri manufaktur. Sisanya masuk ke sektor non-tradable yaitu jasa. Sektor jasa digolongkan ke dalam non-tradable dikarenakan pada umumnya tidak langsung menghadapi persaingan dengan luar negeri. Sejak tahun 2000 sektor non-tradable pertumbuhannya selalu lebih tinggi dari sektor tradable. Berikut grafik dibawah ini membuktikan.

Grafik 1.
Pertumbuhan PDB, Sektor Tradable, dan Sektor Non-tradable Indonesia tahun 2000-20013

Grafik diatas membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tertumpu pada sektor jasa non-tradable, padahal kondisi ini relatif buruk bagi Indonesia notabene sebagai negara berkembang. Menurut Dani Rodrik (2008) ada beberapa hal yang menyebabkan ketergantungan terhadap sektor non-tradable memberikan dampak yang buruk. Pola pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada sektor jasa merupakan ciri khas negara maju yang sudah memiliki sarana dan prasarana ekonomi yang relatif baik dan lengkap; berbagai sektor ekonomi telah tumbuh secara mapan; tingkat kesejahteraan penduduknya juga sudah cukup tinggi, serta tingkat pendidikan maupun akses rata-rata penduduk terhadap sumberdaya ekonomi relatif merata. Artinya, setiap orang yang mau bekerja lebih keras akan mudah memperoleh dana kredit, dan kalau sigap memanfaatkan peluang yang ada, maka ia bisa menjadi lebih kaya. Setiap orang bisa mengakses informasi bisnis karena pendidikan dan informasi telah merata. Dalam kondisi ini, jika pertumbuhan ekonomi tumbuh dari sektor non-tradable, maka hal itu adalah suatu hal wajar.

Hal sebaliknya terjadi, jika pertumbuhan ekonomi yang terlalu bertumpu pada sektor non-tradable terjadi pada negara berkembang. Hal ini sangatlah berisiko. Umumnya, sektor non-tradable memiliki sifat yang padat modal dan padat teknologi, terhimpun hanya pada pusat-pusat ekonomi yang biasanya berupa kota besar, serta sangat sedikit menyerap tenaga kerja. Hanya segilintir orang yang dapat berpartisipasi pada sektor ini, yaitu mereka yang mempunyai akses informasi dan ekonomi yang sangat besar terhadap sumber daya yang tersedia. Sebagian penduduk lainnya hanya akan menjadi konsumen atau penonton perekonomian.

Fakta diatas semakin mempertegas posisi industri Indonesia. Industrialisasi Indonesia dinilai gagal karena faktanya dominasi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi milik sektor non-tradable. Semakin mengkhawatirkan, seperti yang diketahui suatu negara harus melewati sebuah transformasi dalam perekonomian jika ingin memajukan kesejahteraan negara dan rakyat. Kondisi ini dimulai dari pertumbuhan pertanian yang dilanjutkan oleh pertumbuhan industri atau manufaktur dan diakhiri dengan kestabilan ekonomi yang ditandai dengan berkembangnya sektor jasa. Inggris maju pada abad 17-18 karena menjual jagung, demikian dengan Amerika. Hal ini terjadi pada hampir seluruh negara maju, dimana pada awalnya mereka fokus pada bidang pertanian. Selanjutnya, mulailah dikembangkan sektor industri, dimana Inggris memulainya dengan revolusi industri yang terjadi pada abad ke-18. Negara-negara lain pun ikut berbondong-bondong untuk membangun industrinya. Jepang pun akhirnya dikenal sebagai salah satu negara industri manufaktur dimana sebelumnya juga lebih banyak mengembangkan sektor pertanian. Saat ini, negara yang disebutkan tadi telah berada pada level yang lebih baik, dimana lebih fokus kepada sektor jasa. lantas bagaimanakah Indonesia? Berdasarkan paparan tadi Indonesia telah lebih dulu melangkahi sektor industri dan bertumpu pada sektor jasa ketimbang riil. Ini menjadi salah satu gejala deindustrialisasi Indonesia.

Perkembangan industri kian semu di Indonesia. Faisal Basri menyatakan ada lima indikator utama menunjukkan konstatasi terjadinya gejala deindustrialisasi. Pertama, jumlah perusahaan yang bergerak dibidang manufaktur menciut. Kedua, kecenderungan penurunan daya saing. Ketiga, Indonesia kian tersingkir dari jaringan produksi manufaktur regional dan global. Keempat, daya tarik relatif industri manufaktur meredup terlihat dari porsi kredit ke sektor ini yang turun sangat tajam. Kelima, penurunan penjualan listrik ke indsutri. Kesemua lima gejala ini telah terjadi di Indonesia. Perlu pembenahan serius pada struktural ekonomi Indonesia.

Daftar Pustaka

Basri, Faisal. (2009). Deindustrialisasi. 30 November 2009. Majalah Tempo.Budiyuwono,   N.    (1996).      Pengantar    Statistik     Ekonomi    &    Perusahaan. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Lincolin Arsyad, S. E. (2014). Ekonomika Industri (Pendekatan Struktur, Perilaku, dan Kinerja). Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Manurung, P. R. (2008). Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi & Makroekonomi). Jakarta: LPFEUI.
Rezki, J. F. (2010). Industri, Pertumbuhan Ekonomi, dan Campur Tangan Pemerintah. Ekonomi Indonesia di Mata Anak Muda UI, 1-16.