Diskusi “Membedah Omnibus Law: Respon Konferensi Pers Pemerintah”

Sleman (13/10)- Senin (12/10) malam lalu, HMI Cabang Sleman mengadakan diskusi publik bertajuk “Membedah Omnibus Law: Respon Konferensi Pers Pemerintah” yang dimulai pada pukul 19.00 WIB. Untungnya, meski diselenggarakan secara daring via Google Meeting, namun tidak menyurutkan antusias peserta untuk mengikutinya.

Karena memang, semenjak pandemi COVID-19 tidak memungkinkan untuk pengurus HMI Cabang Sleman menyelenggarakan acara secara tatap muka seperti biasanya.

Sementara itu, hadir dalam acara tersebut, Bhima Yudhistira, peneliti ekonomi INDEF, dan Azwar Najib, peneliti lingkungan LSM Arupa. Dimana keduanya merupakan alumni HMI Cabang Sleman.

Bhima Yudhistira, ekonom INDEF yang juga alumni HMI Cabang Sleman membedah Omnibus Law dari sisi ekonomi

Uniknya, saking serunya diskusi pada acara tersebut yang dimoderatori oleh Gilang Fatihan, Ketum HMI Cabang Sleman, acara pun berjalan hampir dua jam lebih. Dan, kedua narasumber berbicara saling mengisi silih berganti. Tak ketinggalan, banyak pertanyaan yang muncul dari peserta menanggapi ulasan kedua narasumber tersebut.

Apalagi dalam paparannya, Bhima menyayangkan disahkannya Omnibus Law yang alih-alih bakal jadi solusi masalah perekonomian Indonesia, justru malah tidak sinkron dengan penyebabnya. “Omnibus Law ini logikanya malah loncat-loncat, penyebabnya apa, solusinya apa”, ucapnya.

Menurutnya, permasalahan utama ekonomi selama ini adalah korupsi. Pasalnya, korupsi itu telah menyebabkan ongkos ekonomi semakin mahal dan menyebabkan ketidakjelasan kebijakan, yang sebetulnya sudah sejak lama dikeluhkan oleh para investor yang sudah dan hendak berinvestasi di Indonesia.

Namun, bukannya fokus pada hal itu yang ada malah UU KPK membikin penindakan korupsi semakin lemah, dan Omnibus Law malah tidak menyinggung soal korupsi sama sekali. “Jelas ya, jadi Omnibus Law UU Cipta Kerja nggak nyambung sama permasalahan ekonomi Indonesia sekarang”, tegasnya.

Di sisi lain, Azwar juga menyampaikan hal yang senada dengan Bhima bahwa Ombibus Law UU Cipta Kerja juga tidak menyasar pangkal persoalan lingkungan selama ini. Yakni, problem lingkungan dari dulu sampai sekarang adalah tidak seimbangnya faktor ekonomi, lingkungan, dan sosial dalam pengelolaan hutan. “Padahal, kalau kebijakan hanya menonjol pada ekonomi saja, maka yang lainnya akan terabaikan”, terangya. Ia melanjutkan, “dalam Omnibus Law ini, saya kira justru kental motif ekonominya ketimbang konservasi hutan itu sendiri”.

Tentunya, kebijakan demikian malah jauh dari harapan kesejahteraan, menurutnya. Yang ada malah ia menaruh curiga kalau disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja ini hanya berpihak pada kapitalis saja.

Azwar Najib, pengamat lingkungan LSM Arupa yang juga alumni HMI Cabang Sleman membedah Omnibus Law dari sisi lingkungan

Walhasil, kedua narasumber itu sama-sama menyimpulkan bahwa Omnibus Law itu tidak relevan dengan permasalahan yang tengah dihadapi Indonesia. Terlebih lagi, pasca disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja ini masih menyisakan 500 lebih aturan turunan untuk melengkapi, yang entah bakal menghabiskan waktu berapa lama lagi untuk merampungkannya. Imbasnya, lagi-lagi ketidakjelasan kebijakan yang dikeluhkan oleh para investor justru makin tidak terselesaikan.

Tentunya dalam diskusi semalam, ada banyak perspektif yang diulas keduanya dalam membedah topik diskusi dari panitia. Apalagi, pertanyaan dan tanggapan dari peserta membuat jalannya diskusi semakin dinamis.