Menuju Komunitas Asean

 

oleh : Hafidz Arfandi

Memahami ASEAN dalam konteks Regonalisme

Ketika berbicara tentang isu regionalisme, orang selalu melihat Eropa sebagai keberhasilan dalam menyatukan sebuah kekuatan regional. Eropa berhasil membentuk sebuah kekuatan regional yang relatif sukses baik dari segi ekonomi, sosial dan politik. Walaupun, belakangan krisis yang melanda negara-negara salah urus, seperti Yunani menjadikan dampak sistemik dalam keuangan zona euro. Kehadiran Uni Eropa telah berhasil mengubah wajah benua eropa yang penuh pertikaian hingga awal abad ke 20, menjadi sebuah kawasan yang paling kondusif di dunia. Imajinasi tentang regionalisasi menular ke berbagai wilayah, mulai Afrika, Asia Timur, dan kini Asia Tenggara.

ASEAN, sudah berdiri sejak 8 Agustus 1967 diprakarsai 5 negara (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan Filiphina), keanggotaanya kemudian berkembang dengan bergabungnya Brunei Darussalam, Vietnam, Myanmar, Laos dan Kamboja. Keberadaan ASEAN membangkitkan imajinasi regionalism dimana dengan membangun sebuah kesatuan regional masyarakat ASEAN akan mampu berhasil keluar dari berbagai masalah, diantaranya; konflik-konflik perbatasan, konflik-konflik etnis lintas negara, dan juga harapan untuk membangun tumbuhnya perekonomian yang merata. Ikatan regionalism memang ditengarai mampu untuk merubah konstruksi masalah antar negara menjadi potensi kerja sama.

Prospek Ekonomi ASEAN di tengah Stagnasi

Kelahiran ASEAN, memang disambut banyak pihak sebagai sebuah momentum konsolidasi di salah satu kawasan negara berkembang. Namun, gegap gempita regionalisme baru muncul belakangan, di akhir 2015 ASEAN akan menerapkan “Free Trade”. Kontrak bersama untuk memastikan terjadinya pertukaran barang dan jasa secara regional untuk mendorong pertumbuhan perekonomian.

Kesadaran regionalisme ASEAN bangkit bukan tanpa konteks. Kawasan ini memiliki beberapa karakteristik, pertama, populasi penduduknya relatif besar, Kedua, Memiliki sumber daya alam yang memadai, Ketiga, relatif belum tersentuh oleh gelombang industrialisasi masif. Kondisi ini menjadikan kawasan ini memungkinkan untuk menjadi sasaran untuk menggerakan roda pertumbuhan ekonomi disaat dunia menghadapi stagnasi akibat krisis keuangan berkepanjangan.

Dilihat dari kondisi ekonominya, kawasan ASEAN termasuk belum terlalu kuat. GDP perkapita negara-negara ASEAN jika dirata-rata hanya sebesar US $ 3.750, tetapi di negara ini terdapat beberapa negara dengan kualitas ekonomi yang cukup kompetitif (GDP percapita diatas US $ 10.000), yaitu; Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam. Namun, dilihat dari total GDP nya cukup besar yaitu, US $ 2.3 T, Indonesia menempati posisi terbesar dengan US $ 878,2 M, disusul Malaysia dan Thailand.

Tabel 1.1 GDP, GDP per capita dan Pertumbuhan Ekonomi ASEAN

Country

GDP
at current prices

GDP per capita
at current prices

Growth rate of GDP
at constant prices

US$ million

US$

US$ PPP

Percent

2012

2012

2012

2012

Brunei Darussalam

16,969.7

42,445.5

55,405.2

1.0

Cambodia

14,411.2

977.6

2,515.6

7.0

Indonesia

878,223.4

3,587.9

4,971.4

6.2

Lao PDR

9,083.1

1,394.3

2,904.5

7.9

Malaysia

305,154.4

10,337.9

16,975.6

5.6

Myanmar

53,998.7

885.3

1,490.4

5.9

Philippines

250,542.7

2,564.6

4,339.4

6.8

Singapore

276,609.5

52,068.7

61,461.2

1.3

Thailand

366,126.6

5,391.2

9,609.5

6.5

Viet Nam

141,669.1

1,595.9

3,706.5

5.0

     ASEAN

2,312,788.5

3,750.7

5,869.1

5.7

Sumber : statistic ASEAN, www.asean.org

Dengan melihat kapasitas dan kualitas ekonominya, ASEAN memang masih menjanjikan untuk didorong menjadi zona penopang bagi pertumbuhan dunia. Dalam konteks integrasi ekonomi global, kemandegan zona euro dan amerika serikat, telah berdampak sistemik kepada perekonomian seluruh dunia. Kedua zona ini memiliki kaitan ekonomi secara langsung maupun tak langsung dengan seluruh negara-negara di dunia. Kemandegan perekonomian tidak mungkin diselesaikan dengan sekedar menekankan upaya penghematan anggaran pada beberapa negara yang beresiko krisis, tetapi memerlukan diorongan pada produktifitas global. ASEAN dianggap sebagai zona yang tepat untuk mendorong produktifitas global.

Joseph Stiglitz, menjelaskan bahwa konsep “equilibrium prosperity” harus diwujudkan dalam tatanan dunia baru yang lebih equal, “lebih setara”. Ketika terjadi ketimpangan ekstrem dalam perekonomian dunia, niscaya krisis akan terjadi dan menjadikan kemacetan perekonomian global. Sebaliknya jika terjadi pemerataan maka perekonomian akan mampu tumbuh secara bertahap namun pasti. Konektifitas dan integrasi ekonomi global menjadikan tidak mungkin suatu negara akan mampu berkembang pesat tanpa diiringi perkembangan negara lainya. Keseluruhanya akan ditentukan oleh proses pertukaran baik barang maupun jasa.

ASEAN, sejak 1970-an memang dilirik untuk menjadi zona penyangga pertumbuhan ekonomi dunia. Hal ini sebagaimana dalam riset panjang yang dilakukan Andre Gunnar Mydral, dalam Asian Drama : Inquiry Wealth of Nation. Mydral melihat bahwa ASEAN merupakan zona yang cukup potensial untuk berkembang secara ekonomi, dengan pra syarat-prasyarat tertentu: pertama, human investment, kedua, perbaikan budaya masyarakat untuk menopang industrialisasi, ketiga, membuka kran investasi untuk pengembangan teknologi dan infrastruktur, dan keempat, hadirnya pemerintahan yang akomodatif dan situasi politik yang kondusif.

Mendalami Kontruksi Ekonomi ASEAN

Karakter ekonomi sebuah bangsa tidak dapat dilepaskan dari kontruksi sosial yang terdapat didalamnya. Imamanuel Walerstein, sejarahwan ekonomi melihat hadirnya kekuatan-kekuatan ekonomi dunia sebagai sebuah konfigurasi yang khas dengan tatanan masyarakatnya. Hadirnya Inggris sebagai pelopor revolusi industri didorong langsung oleh kaum borjuasi dan bangsawan yang membangun struktur ekonomi baru di abad ke 17. Jerman yang menyusul berikutnya  ternyata tidak mampu melahirkan kaum borjuasi yang independen, mereka mengalami barier efektifitas sehingga memerlukan peran negara untuk melakukan konsolidasi. Dalam konteks modern, kita bisa melihat hadirnya Asia Timur tidak lain merupakan bentuk “shifting industry” dari barat. Dalam proses ekonomi, proses shifting industry ini sulit dilihat sebagai proses “by design”, melainkan hasil dari proses ekonomi yang ditentukan pasar. Pasar bisa memilih secara leluasa kemana mereka akan menanamkan modalnya untuk membangun industri baru, begitu juga bagi sebuah negara ia bisa menerima maupun menolak kemauan pasar sebagai sebuah kehendak politik, untuk menentukan strategi kebijakan ekonominya.

Karakteristik ASEAN, memiliki kekhasanya sendiri. Kawasan ASEAN, baru terbebas dari penjajahan sekitar pertengahan abad ke 20 –thai tidak dijajah tetapi secara de facto juga berada dibawah pengaruh kolonialisasi eropa-. Berakhirnya penjajahan di kawasan ASEAN, ternyata tidak merubah struktur sosial ekonominya. Kemerdekaan yang diraih oleh bangsa-bangsa ini meninggalkan jejak model-model politik yang berbeda. Persamaanya adalah didalam pembentukan struktur kelas sosial, para bangsawan, atau elit-elit pribumi masih berkuasa dan meninggalkan jejak kesenjangan sosial yang tinggi. Di negara-negara melayu khususnya, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam dan Filipina jejak itu masih terasa. Sedangkan di Indo China; Vietnam, Myanmar, Laos dan Kamboja pengaruh sosialisme otoriterian berhasil mengubah dominasi elit-elit baru yaitu, elit penguasa.

Yoshihara Kunio, dalam “Erzats Capitalism in South East Asia”, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, melihat fenomena terjadinya kapitalisme semu, atau industrialisasi yang keropos di kawasan Asia Tenggara. Industrialisasi yang terjadi di kawasan ini lebih didorong karena adanya kebutuhan-kebutuhan mendesak yang kemudian melahirkan pebisnis lokal yang memakai fasilitas negara untuk berkembang. Industrialisasi tidak berkembang masif, karakter industri di kawasan ini lebih banyak ditopang oleh perdagangan “import” yang diwarnai perburuan rente. Adapun industri yang ada kebanyakan adalah indutri untuk mengeruk sumber daya alam.  Negara yang sentralistik kemudian berhasil membangun sebuah gradasi kekuasaan untuk melahirkan kroni-kroninya untuk menjadi para pebisnis, dengan berbagai dukungan penuh yang dibayar melalui upeti pada para penguasa.

Kondisi ini terus bertahan hingga kini, tetapi gelombang keterbukaan “demokratisasi” yang terus dihembuskan di kawasan ini memang berhasil mendorong terjadinya perubahan besar. Perubahan itu terjadi di level kebijakan-kebijakan ekonomi yang lebih pro pasar. “Fairness”. Dibukanya kran liberalisasi ekonomi menjadikan pasar berjalan efektif, pemain-pemain global hadir bertarung vis a vis dengan para pemain lokal. Mereka yang bisa bertahan dalam perubahan ini kini berhasil mempertahankan posisinya, sedangkan mereka yang kesulitan mempertahankan diri dalam arus baru ini berguguran. Namun, ekonomi memang tidak semudah politik, budaya bisnis dan industri memiliki karakteristik yang lebih halus, tidak ingin saling menghancurkan melainkan berbagi dan bersaing secara efektif tanpa menimbulkan gejolak. Globalisasi ekonomi disambut dengan bergandengan antara pebisnis lokal dan global untuk bersama-sama bergerak maju. Konstruksi ekonomi di kawasan ini lebih banyak dikuasai oleh pola perpaduan antara pemain lokal dan pemain global. Kecuali di sektor-sektor tertentu seperti Migas, pemain lokal lebih banyak terdepak dikarenakan sektor ini msangat padat modal.

Kewaspadaan Komunitas ASEAN

Di tengah perekonomian dunia yang sedang terus merosot, maka kehadiran ASEAN sebagai sebuah komunitas ekonomi disambut dengan antusias. Kehadiran kekuatan ekonomi baru, seperti Brazil, Turki, Rusia, India, disamping Barat (Eropa dan AS) dan Asia Timur menjadi pilar baru perekonomian dunia. Kawasan ASEAN dengan GDP US $ 2.3 T, dan potensi tumbuh yang masih relatif besar 5.7% tentunya sangat menarik bagi perekonomian dunia.

Pertumbuhan yang menjanjikan dalam perekonomian global bisa ditafsirkan sebagai dua hal, pertama, lahirnya kawasan industri baru yang potensial. Kedua, lahirnya pasar baru yang potensial. Dilihat dari dua sisi ini jelas industrialisasi yang akan lahir dikawasan ini akan menghadapi beberapa tantangan, diantaranya, 1) kelesuan ekonomi global menjadikan industri ini berorientasi memnuhi kebutuhan kawasan, bukan ekspor ke kawasan lain, yang sedang lesu, 2) Industrialisasi ini akan dihadapkan dengan kompetisi dengan industri dari kawasan lain, khususnya China, Korea Selatan dan India. Adapun pasar baru bisa ditafsirkan dengan peningkatan produktifitas masyarakat yang menjadikan daya belinya naik, selain itu pembebasan bea masuk ‘free trade’, menjadikan efisiensi harga yang meningkatkan kuantitas konsumsi.

Optimisme ASEAN, juga diiringi kekhawatiran mendasar. Pandangan, fobia yang terjadi di Amerika Latin, bisa kita lihat. Di decade 60-80-an, Amerika Latin dijadikan satelit-satelit perdagangan antara Barat (Eropa dan AS) dengan Rusia. Perkembangan kawasan ini lebih didorong oleh pertarungan ekonomi dan politik dari dua kekuatan besar dunia. Rusia menjadikan kawasan ini sebagai tameng ekonomi untuk menghadapi barat. Kawasan ini dijadikan sebagai pasar sekaligus sebagai satelit industrinya yang berbiaya relative murah, dikarenakan ongkos buruh jauh lebih murah. Barat, khususnya AS juga menjadikan beberapa negara sebagai tameng ekonomi, AS memodali berbagai negara agar tumbuh industrinya agar bisa dijadikan sebagai alat untuk menguasai perekonomian negara di sekitar kawasanya. Dalam suasana perang dingin, ketegangan politik mewarnai proses pertarungan ekonomi.

Kawasan ASEAN akan berpotensi menjadi medan yang sama. China dan Barat (AS-Eropa), tengah bersaing mempertahankan kedigdayaanya, keduanya tidak mungkin saling menghancurkan dikarenakan ketergantungan antar dua negara cukup besar. AS menjadi pasar terbesar bagi China baik secara langsung maupun tidak, sebaliknya investasi di China juga banyak dimiliki oleh pemodal AS dan Eropa. Pertarungan dagang kedua negara ini sekedar untuk mempertahankan pertumbuhanya. ASEAN bisa dilihat sebagai medan baru untuk bertarung secara ekonomi, yang dilakukan bisa dua hal, pertama, perdagangan secara langsung ke ASEAN, kedua, satelit industri, dengan membangun industri perakitan di ASEAN sedangkan bahan setengah jadi di produksi di luar, ini untuk mendapatkan keuntungan kompetitif berupa free trade kawasan. Jika kondisi ini terjadi maka semua negara di kawasan ini sejatinya tidak bertarung satu sama lain, tetapi sedang membawa harimau masuk ke kamar. Mereka akan bertarung tidak dengan dirinya, melainkan dengan mengandalkan kekuatan mitra-mitra ekonominya. Dalam suasana inilah ASEAN mampu tetap berkembang, tetapi kawasan ini akan terus bertahan menjadi zona satelit yang mengalami ketergantungan pada kawasan lain, yang memantapkan eksistensi erzats capitalism “kapitalisme semua”.

Menelaah Kesiapan Indonesia

Komunitas ASEAN memang menjanjikan terjadinya pemerataan di kawasan, dorongan akan lahirnya pasar bebas dinilai akan mendorong efektifitas kinerja ekonomi. Persaingan bebas tentu akan memberikan dampak positif bagi mereka yang lebih kompetitif. Singapura dan Malaysia, tentu akan berkuasa di sektor jasa. Sedangkan Thailand dan Filipina akan menguasai sektor agro. Bagaimana dengan Indonesia dan Indo china?

Indonesia negara yang memiliki komposisi sumber daya cukup beragam, kondisi ekonominya pun sangat besar (1/3 total GDP ASEAN) dan memiliki populasi penduduk terbesar  pula (1/3 dari total populasi ASEAN) di kawasan ini. Kekuatan ekonomi dan besarnya penduduk, menurut Michael Todaro, adalah merupakan aset sekaligus beban. Aset dikarenakan keduanya bisa dipandang sebagai modal untuk menggerakan ekonomi (financial and labor), tetapi juga bisa sekedar dilihat sebagai beban (market and consumer). Diperlukan sebuah perencanaan yang tepat untuk memaksimalkan potensi ini. Dalam free trade area, atau pasar bebas, teori pembagain kerja internasional, sebagaimana dijelaskan David Ricardo, menjadi pra syarat. Sebuah negara bisa bertahan dengan memaksimalkan potensinya, sehingga melahirkan produktifitas yang memenuhi level efisiensi tertentu. Namun, kenyataanya pasar bebas tidak berada dalam ruang kosong, dinamika perekonomian sebuah negara yang tidak homogen, menjadikan negara berusaha mempertahankan seluruh daya produksi penduduknya. Maka logika efisiensi internasional dengan persaingan pasar bebas tidak terpenuhi.

Kesiapan sebuah bangsa dalam menghadapi pasar bebas akan ditentukan oleh beberapa hal, pertama, produktivitas ekonomi, ditentukan seberapa besar pertumbuhan ekonomi dan kapasitas ekonomi secara keseluruhan. kedua, kualitas ekonomi, ditentukan oleh pemerataan ekonomi sekaligus kualitas daya saing sektoral. ketiga, faktor infrastruktur, keberadaan infrastruktur akan memungkinkan pertumbuhan infestasi (FDI) dan pengembangan usaha, infrastruktur yang dibutuhkan diantaranya adalah 1) koneksifitas antar wilayah (jalan, pelabuhan, bandara, dll), dan 2) ketersediaan energi,  keempat, Kondusifitas sosial, kondusifitas memungkinkan laghirnya stabilisasi sosial sehingga proses pembangunan ekonomi bisa berjalan efektif. kelima, kapasitas sumber daya manusia, SDM akan menentukan kualitas pengembangan ekonomi, kualitas SDM bisa dilihat dari sisi skill, dan dari sisi kemampuan inovasi.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih menyisakan banyak catatan, pertama, masih terjadinya ketimpangan ekonomi, indeks gini Indonesia tahun 2012, berada pada 0,41. Tingkat kesenjangan ini menandakan bahwa daya saing Indonesia tidak homogen. Ada masyarakat yang memiliki akses berlebih untuk kompetitif di sektor global, namun masih menyisakan banyak masyarakat yang hidup sekedar dengan logika subsistensi. Tingkat pengangguran terbuka pada periode Agustus 2012 sebesar 7,2 juta, atau sekitar 6,31% dari seluruh angkatan kerja. Tetapi kualitas pekerjaan di Indonesia masih sangat buruk, 12,7 juta separuh menganggur, sedangkan 21,4 juta lainya bekerja paruh waktu, atau 30,9% dari total pekerja bekerja tidak penuh. Dan problem lain lagi adalah mayoritas dari penduduk bekerja berada di sektor informal, data BPS febuari 2013 menunjukan 60,9% berada di sektor informal, dan hanya 39.1% yang bekerja di sektor formal. Kedua, Keterbatasan infrastruktur, kepadatan lalu lintas jalan, jaringan kereta api yang cuma ada di jawa dan sebagian sumatera, kapasitas pelabuhan yang masih cukup rendah dan tidak kompetitif dibanding Singapura  (Singapore port) dan Malaysia (Klang Port). Belum lagi konektifitas antar wilayah di Indonesia masih sangat minim. Di sektor energy, Indonesia mengalami keterbatasan, 1) ketergantungan BBM dari Import, 2) keterbatasan kapasitas produksi sumber daya listrik, 3) listrifikasi yang belum 100%, Kesemuanya memperngaruhi proses industrialisasi masif di Indonesia. Ada kecenderungan bahwa FDI akan lebih bisa ditangkap oleh mereka yang memiliki kualitas infrastruktur lebih baik, maka dalam komunitas ASEAN nanti, Indonesia akan bersaing ketat dengan Malaysia, Filipina dan Thailand yang secara infrastruktur jauh lebih efisien (Singapura sudah terlalu padat dan lebih berorientasi pada pengembangan sektor jasa). Apakah kita benar-benar siap menghadapi “ASEAN COMMUNITY”?

Penutup (Berpikir jauh ke depan)

Dilema pembangunan ekonomi akan dihadapi Indonesia sebagai sebuah bangsa, Indonesia adalah negara yang masuk dalam G-20, dengan ekonomi terbesar ke 16 di dunia. Di ASEAN, Indonesia menguasai 1/3 dari total GDP. Dalam konteks ini tentu Indonesia memiliki peluang besar untuk mampu menyambut ASEAN Community dengan lebih optimis. Pekerjaan rumah bagi bangsa ini cukup besar, pertama, Indonesia perlu memikirkan ulang format perekonomianya. Format perekonomian bukan lagi menjadi barier ideologis untuk terasing dalam pergaulan global, China dengan komunismenya bahkan bisa membangun state capitalism yang menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia saat ini. Scandinavia berhasil memantapkan welfare statenya di tengah globalisasi. Bagaimana dengan Indonesia?

Hatta, menyebutkan karakteristik demokrasi ekonomi sebagai solusi bagi bangsa ini. Demokrasi ekonomi dicirikan dengan integrasi perekonomian pedesaan yang difasilitasi oleh negara untuk membangun kontruksi perekonomian nasional. Kapasitas ekonomi masyarakat Indonesia yang agraris (38,1% atau 42.48 juta tenaga kerja di sektor pertanian) akan bangkit apabila sektor ini sudah menjadi sektor kompetitif (selama ini sektor agraris hanya menyumbang 3,96% dari total GDP).  Pertanian bukanlah sesuatu yang sulit dikembangkan tetapi membutuhkan komitmen serius dari pemerintah. Pertanian hanya membutuhkan beberapa hal 1) ketersediaan modal, 2) ketersediaan teknologi, dan 3) kemampuan akses pasar. Tren pengembangan tropical integrating farming menjadi andalan perekonomian Brazil. Selain, sektor perekonomian Indonesia masih memiliki potensi lain yang bisa dikembangkan menjadi industri kompetitif, 1) industri maritim, perkapalan, perikanan, pelabuhan, dll. 2) sektor energi, Indonesia memang terancam krisis energi, namun bukan berarti Indonesia tak punya sumber energi, sumber-sumber ekonomi alternatif begitu banyak, mulai geothermal, gelombang lautt, angin, panas, matahari, hingga nuklir. Baik industri maritim maupun industri energi bukanlah sektor padat karya, melainkan industri yang sangat padat modal, memerlukan teknologi tinggi dan skill yang tinggi, serta sangat kompetitif. Memadukan keduanya memerlukan pemerintahan yang solid, efektif dan berorientasi masa depan. Masa depan negeri ini berada ditangan bangsanya sendiri, Pekerjaan rumah kedua, negara harus mampu melakukan renegosiasi kontrak dengan seluruh pelaku pasar, memastikan kontribusi pelaku pasar cukup besar kepada negara untuk didistribusikan bagi re-investment economic, maupun bagi distribusi kesejahteraan masyarakat melalui serangkai kebijakan sosial yang mampu memperkuat kualitas ekonomi keseluruhan rakyat Indonesia. Adapun, yang ketiga, adalah perbaikan kinerja birokrasi pemerintahan, mencegah kebocoran pajak, dan memperkuat kredibilitas negara dihadapan pelaku pasar sehingga pasar merespon dengan positif.

ASEAN bisa menjadi boomerang yang menelantarkan Indonesia sekedar menjadi pasar, atau bisa menjadi inkubasi untuk menjadi kekuatan ekonomi dunia yang tangguh.


Diskusi HMI Cabang Sleman