Reforma Agraria: Gagasan Hebat Minim Implementasi

Oleh: Kholid Baldan & Nandi Dwi Kurnia

Bidang Kajian HMI Cabang Sleman

Aksi Hari Tani Nasional Tahun 2022 (Sumber: Dokumentasi HMI Cabang Sleman)

Sudah 78 tahun bangsa kita merdeka dari penjajahan Belanda tetapi bekas-bekas penjajahan masih sangat dirasakan di berbagai hal baik ekonomi, politik, hukum, pertanahan, dan pertanian. Dua hal yang menjadi permasalahan yang tak kunjung ditemukan titik terangnya sejak kemerdekaan adalah permasalahan terkait pertanahan dan pertanian yang erat kaitannya dengan kesejahteraan petani. Sebagai bangsa agraris, ekonomi kita didominasi sektor pertanian. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga digerakkan oleh industri yang bergerak di sektor pertanian. Ironisnya, para petani yang merupakan pelaku ekonomi di sektor yang menjadi pilar ekonomi bangsa kita belum turut serta menikmati pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh hasil kerja keras mereka. Hal ini terlihat pada data yang dikeluarkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2021 dari keseluruhan penduduk miskin di Indonesia terdapat 36,11 % penduduk miskin tersebut bekerja di sektor pertanian. Angka ini membuktikan sektor pertanian nyatanya tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi pelaku ekonominya dan bahkan mendominasi sebagai sektor penyumbang penduduk miskin di Indonesia.

Para petani menjadi golongan yang termarginalkan di dalam sistem ekonomi saat ini karena mereka belum menikmati hasil dari kerja keras mereka. Situasi ini diperparah dengan kondisi krisis lahan pertanian yang terjadi di Indonesia, hal ini dibuktikan oleh data yang dikeluarkan oleh BPS dari luasan daratan di Indonesia sebesar 1905 juta km2 para petani Indonesia rata-rata hanya memiliki luas lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar. Kondisi ini membuat sebagian dari mereka yang tidak memiliki lahan terpaksa menjadi buruh tani untuk menggarap sawah yang dimiliki oleh para tuan tanah. Tuan tanah meraup keuntungan melalui bagi hasil yang tidak adil ada yang mendapat jatah 50% dari total hasil panen garapan buruh tani dan bahkan ada yang lebih kecil dari angka tersebut. Hal ini tentu tidaklah adil karena mereka hanya tidur dan bersantai di rumah sedangkan buruh tani harus bekerja keras membanting tulang dan hasilnya dibagi rata dengan dasar asumsi bahwa kontribusi buruh tani dan tuan tanah sepadan. Pembagian hasil seperti ini jelas menguntungkan tuan tanah dan merugikan petani, bahkan mungkin akibatnya akan merambat ke produktivitas hasil panen karena motivasi kerja para penggarap lahan menurun karena imbalan yang diterima tidak sepadan dengan usaha yang dilakukan.

Praktik kerja antara tuan tanah dan buruh tani ini tentunya harus dicari solusi pemecahannya untuk memberikan kemerdekaan berekonomi bagi semua rakyat. Praktik tuan tanah adalah peninggalan para koloni yang menindas para pribumi. Tanah adalah faktor produksi utama di dalam negara agraris. Ketika faktor produksi hanya dikuasai oleh segelintir kelompok, tentu akan menimbulkan ketimpangan. Ketika industri tersebut maju, kemajuan dan manfaatnya hanya dirasakan kelompok kecil saja, para pekerja yang tidak memiliki faktor produksi tidak akan ikut serta merasakan kemajuan itu secara adil dan merata. Pekerja bekerja keras tetapi tetap miskin dan tak kunjung meningkat kesejahteraannya. Seharusnya, menurut konstitusi kita UUD 1945 pasal 33 ayat (3) sumber daya seperti tanah harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat banyak. Tanah tidak boleh dikuasai dan dimanfaatkan untuk kepentingan golongan atau kelompok tertentu. Oleh sebab itu, sistem tuan tanah harus dihapuskan, redistribusi faktor produksi tanah harus dilakukan demi masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur. Selain di Indonesia banyak negara negara lain di belahan dunia yang mengalami monopoli tanah ini seperti di Brazil pada tahun 2016 terjadi unjuk rasa yang menuntut distribusi lahan pertanian bagi 120.000 keluarga tanpa rumah yang diakibatkan oleh monopoli tanah dengan data menurut penelitian yang dilakukan di Universitas Windsor di Kanada tahun 2016 menyatakan satu persen dari keseluruhan penduduk Brazil menguasai sekitar 45 % tanah di negara tersebut. Oleh karena itu usaha meredistribusikan tanah atau reforma agraria (land reform) ini sangat penting dilakukan dalam melawan monopoli tanah yang terjadi dan berdampak pada ketidakadilan dalam berekonomi diantara rakyat di Indonesia.

Reforma agraria secara umum didefinisikan sebagai upaya untuk mendistribusikan kembali penguasaan, pemanfaatan, dan kepemilikan faktor produksi tanah untuk menciptakan keadilan sosial dan ekonomi bagi para petani sehingga meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas para petani sebagai pelaku utama di industri pertanian yang menggerakkan ekonomi. Tujuan yang ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi yang ada tidak hanya dirasakan oleh sekelompok saja, tetapi dirasakan secara adil oleh para petani selaku pelaku utama di sektor pertanian bukan oleh sekelompok tuan tanah yang tidak bekerja keras dan mendapat keuntungan yang tidak wajar atas dasar kepemilikan atas faktor produksi tanah. Menurut UUPA (peraturan dasar pokok-pokok agraria) Nomor 5 Tahun 1960, terdapat enam elemen pokok program reforma agraria, yaitu pembatasan pemilikan maksimum, larangan pemilikan tanah absentee, redistribusi tanah yang melampaui batas maksimum, pengaturan pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan, pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan melakukan perbuatan mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian yang terlampau kecil (Supriadi, 2007).

Pada Program Pembaharuan Agraria Nasional tahun 2007, reforma agraria memiliki dua pilar  yakni reforma aset dan reforma akses. Reforma aset dapat diartikan sebagai usaha untuk mempermudah petani mendapatkan aset yang menjadi faktor produksi sedangkan reforma akses adalah usaha untuk memberdayakan para petani yang menjadi subjek penerima aset tersebut sehingga mampu memanfaatkan aset yang diterima dengan baik misal dengan menyediakan kredit pertanian dan pupuk yang baik. Program ini meliputi empat tahap kegiatan yakni penetapan objek (tanah yang akan diredistribusikan), penetapan subjek (pihak yang menerima tanah redistribusi), mekanisme distribusi aset dan reforma akses.

Secara umum, muatan undang-undang yang mendorong pelaksanaan reforma agraria yang ada pada masa reformasi ini sudah komprehensif. Terdapat empat produk hukum tentang reforma agraria yang dihasilkan sejak reformasi 1998 yakni TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan SDA, Keppres No. 34/2003 tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan, PP No. 11/2010 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar, dan Perpres No. 88/2017 tentang penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Dari keempat produk hukum tersebut, persentase jumlah pasal yang merefleksikan tata kelola pertanahan yang baik masing-masing sebesar 66 %, 40%, 50%, dan 34,3% dari total pasal yang ada. Dari hasil persentase tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemerintah sejak reformasi telah konsisten dalam menciptakan regulasi yang mendorong gagasan reforma agraria sesuai yang dimuat pada UUPA 1960 tentang pelaksanaan restrukturisasi kembali kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan, dan penggunaan tanah yang diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 (Sutadi, 2018).

Namun, yang menjadi sorotan adalah begitu banyak kendala di lapangan yang menghambat implementasi gagasan-gagasan baik yang dimuat oleh undang-undang tersebut sehingga gagasan tersebut hanya berhenti di ide dan minim akan penerapan. Diperlukan komitmen yang sangat tinggi dari pemerintah untuk menerapkan undang-undang reforma agraria dengan baik. Ide yang terdapat pada Undang-undang yang telah ditetapkan terkesan utopis dan terlalu revolusioner sehingga memberikan kesulitan di tahap implementasinya. Ide-ide tersebut terhambat oleh birokrasi yang seharusnya memudahkan malah menyulitkan. Luas lahan minimal yang ditentukan untuk redistribusi sebagai objek adalah dua hektar sedangkan tidak tersedia data yang akurat tentang tanah yang menjadi objek untuk diredistribusi dan subjek petani yang akan menerima objek tersebut sehingga menimbulkan pertanyaan “tanah yang mana yang akan dibagikan? dan kepada siapa saja tanah akan dibagikan”.

Pada pemerintahan yang sekarang, kesan yang terlihat dari pemerintahan Joko Widodo dalam melakukan reforma dapat disimpulkan hanya berupa reforma agraria palsu dengan program utamanya hanya bagi bagi sertifikat tanah. Dari data terbarunya menurut publikasi yang dilakukan oleh Sekretariat Kabinet Republik Indonesia pada desember 2022 Presiden Joko Widodo menyerahkan 1,55 Juta sertifikat tanah untuk rakyat dan jutaan sertifikat-sertifikat lain sebelumnya yang hampir selama pemerintahan Joko Widodo program bagi bagi sertifikat ini selalu menjadi headline berita utama. Upaya ini memang baik tetapi dirasa kurang menyeluruh. Reforma agraria sendiri adalah sebuah gagasan yang lebih dari sekedar percepatan ataupun perluasan sertifikasi tanah. Pelaksanaan reforma agraria harus mengupayakan pemerataan kepemilikan tanah dan ketersediaan akses untuk mengelola aset tanah tersebut.

Menurut investigasi yang kami lakukan di lapangan pada masyarakat pertanian di kawasan sekitar hutan di daerah Blora Jawa Tengah, tepatnya di Kecamatan Randublatung. Program reforma agraria yang diusung pemerintah nyatanya malah menimbulkan ketidakjelasan bagi pengelolaan lahan hutan di kawasan tersebut yang selama ini dijadikan lahan pertanian bagi masyarakat di sana. Masyarakat hanya dijadikan subjek buruh tani pengelola lahan dengan sistem yang tidak jauh bedanya dengan situasi tanam paksa ketika zaman penjajahan dulu. Petani diminta untuk mengelola tanah yang nantinya akan masuk  ke dalam program Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) Perhutanan Sosial (PS) Kementerian Lingkungan Hidup dan Perhutanan (KLHK). Masalah timbul ketika skema KHDPK ini nantinya hanya memberikan hak pengelolaan tanah tanpa adanya jaminan hak kepemilikan dari tanah tersebut. Apabila hanya diberikan hak pengelolaan maka skema yang disampaikan oleh masyarakat kepada kita hanya berupa akses atas tanah tersebut tanpa adanya bantuan akses dari segi pendanaan dan akses dari segi penjualan hasil produksi yang tidak disediakan oleh pemerintah. Selain itu, muncul suatu praktik pajak hasil pertanian yang dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan persyaratan untuk pembagian hasil dari pertanian tersebut dengan perbandingan yang umumnya 50 banding 50. Hal ini tentunya sangat merugikan petani karena dari sisi pemerintah untuk proses produksi pertanian tersebut tidak ada input yang diberikan seperti pendanaan dan akses lainnya selain hanya berupa penyediaan lahan dan petani sebagai pengelola tanah dari hulu sampai hilir produksi harus menanggung semua biaya dari produksi.     

Selain itu, di masa pemerintahan Joko Widodo, terdapat masalah yang tak kunjung terselesaikan, yakni sulitnya menertibkan para tuan tanah yang sebagian besar adalah orang berkuasa dan berpengaruh sehingga mampu menolak upaya pemerintah dalam penerapan reforma agraria dengan memanipulasi data terkait objek dan subjek reforma agraria. Keberpihakan pemerintah kepada pemodal besar dapat terlihat dari timpangnya luasan tanah yang berstatus Hak Guna Usaha (HGU) dengan luasan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Menurut Kementerian Agraria dan Tata Ruang pada tahun 2021 total luasan lahan HGU yang dikelola oleh perusahaan swasta tercatat sebesar 10.198.000 hektar dan pastinya akan bertambah pada saat ini. Apabila dibandingkan dengan luasan TORA pada tahun 2021 capaian penyediaan TORA berdasarkan data dari KLHK hanya seluas 2.749.663 suatu angka yang sangat kecil apabila dibandingkan dengan luasan tanah HGU yang peruntukannya biasanya diambil oleh para pemodal besar. Pemodal besar ini tentunya memiliki kepentingan mempertahankan dan merebut aset dengan kuasa yang dimilikinya dan akan menimbulkan konflik agraria yang terjadi dengan masyarakat adat atau masyarakat yang telah menempati lahan tersebut dari nenek moyang mereka dan tentunya hasil dari konflik tersebut dapat kita tebak ke siapa pemenangnya.

Selain itu, kebijakan pemerintah Jokowi yang mendorong peningkatan investasi asing juga berlawanan dengan reforma agraria. Reforma agraria menyulitkan investor asing dalam membuka usaha yang membutuhkan lahan luas untuk misalnya membangun pabrik yang cukup besar sehingga memungkinkan mereka mendapatkan keuntungan biaya produksi rendah dengan prinsip “economies of scale” yakni semakin besar produksi, biaya produksi relatif lebih rendah sampai batas tertentu, reforma agraria dianggap menyulitkan penerapan prinsip tersebut karena kepemilikan lahan dibatasi misalnya maksimal 10 hektar.

Selain itu, reforma agraria ini seringkali dinilai sebagai program yang erat kaitannya dengan ideologi komunisme yang seolah telah menjadi hantu bagi bangsa Indonesia. Padahal, penerapan reforma agraria yang baik justru akan meningkatkan produktivitas hasil panen dan meningkatkan tingkat pemerataan ekonomi. Misalnya, di Taiwan, sebanyak 195 ribu kepala keluarga penyewa lahan membeli 140 ribu hektar tanah yang dibeli pemerintah secara paksa dari para tuan tanah. Pemilik tanah pertanian meningkat dari 61% menjadi 86%, sedangkan penyewa menurun drastis dari 39% menjadi hanya 14% (Sudiyat, 1982). Hasil lainnya, produksi padi meningkat tajam dari 1,1 juta ton pada tahun 1949 menjadi 2,4 juta ton pada tahun 1964. Seharusnya, pemerintah memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat bahwa reforma agraria dilakukan bukan atas dasar aspek ideologi tetapi berdasarkan aspek tinjauan kemaslahatan bagi rakyat banyak.

Oleh sebab itu, manfaat dari reforma agraria sudah tidak perlu diperdebatkan. Lebih banyak manfaat daripada mudaratnya. Hanya saja tentu penerapan reforma agraria yang baik tidak akan menyenangkan setiap pihak. Ada pihak yang sedikit dirugikan seperti para tuan tanah dan mafia tanah yang harus menjual asetnya demi kemaslahatan bangsa. Di sinilah komitmen yang tinggi dari pemerintah dan DPR diperlukan untuk melawan para mafia tersebut. Pemerintah harus mampu menertibkan pihak-pihak tersebut demi kemaslahatan rakyat banyak. Pemerintah memiliki instansi seperti BPN, TNI/Polri, dan Kejaksaan yang memiliki kemampuan untuk menertibkan. Namun, realitanya adalah justru beberapa oknum dari instansi tersebut malah memiliki keterlibatan dalam upaya menghambat terlaksananya program-program reforma agraria. Pemerintah harus sadar dan bertindak. Jangan sampai alat yang seharusnya digunakan dengan baik malah menjadi alat destruktif bagi negara. Pemerintah perlu berusaha lebih dalam mengontrol dan mengawasi instansi-instansi tersebut sehingga meminimalisir adanya oknum yang tidak bertanggung jawab terlibat dalam upaya penghambatan implementasi reforma agraria.

 

Referensi:

Badan Pusat Statistik. 2019. Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota tahun 2019. Diakses melalui: https://okikab.bps.go.id/indicator/23/247/1/persentase-penduduk-miskin-usia-15-tahun-ke-atas-menurut-sektor-bekerja.html

Humas Sekretariat Kabinet RI. 2022. Presiden Serahkan 1,55 Juta Sertifikat Tanah Untuk Rakyat. Diakses melalui: https://setkab.go.id/presiden-serahkan-155-juta-sertifikat-tanah-untuk-rakyat/

Jubi.co.id. 2016. Tuntut Reforma Agraria, Aktivis Brazil Duduki Kantor Pemerintahan. Diakses melalui: https://arsip.jubi.id/227235/

Kompas.com. 2021. Berapa Total Luas Lahan HGU Yang Dikelola Swasta? Cek di Sini. Diakses melalui:

https://www.kompas.com/properti/read/2021/03/23/145101921/berapa-total-luas-lahan-hgu-yang-dikelola-swasta-cek-di-sini?page=all

PPID KLHK. 2021. Capaian TORA dan Perhutanan Sosial di Tahun 2021. Diakses melalui:http://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/6330/capaian-tora-dan-perhutanan-sosial-di-tahun-2021

Sudiyat. Iman. 1982. Beberapa Masalah Penguasaan Tanah di Berbagai Masyarakat Sedang Berkembang. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman: Jakarta

Supriadi. 2007. Hukum Agraria. Sinar Grafika: Jakarta