Sudah 16 Tahun, Tapi Kasus Munir Masih Menggantung

Pada 2004 lalu, salah seorang pejuang HAM, Munir Said Thalib dihabisi nyawanya. Sayangnya, sudah 16 tahun berlalu, dalang di balik kasus ini belum juga terungkap. Naasnya, hingga sekarang malah tidak ada kemajuan pemeriksaan independen atas kasus ini.

Untuk itulah, pada tahun ini, tepatnya pada 7 September, dimana hari yang selalu diperingati sebagai hari berkabung atas kematian Munir. Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) beserta perwakilan 11 organisasi lainnya menyusun Legal Opinion yang akan diserahkan ke Komnas HAM.

Namun, sebelum itu, dilangsungkan siaran pers secara daring yang disampaikan oleh Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS), Arif Maulana (Direktur LBH Jakarta), dan Usman Hamid (Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia).

Disiarkan melalui Zoom dan Youtube, dalam siaran pers tersebut, Arif mengingatkan, “dua tahun lagi, tahun 2020, kasus Munir akan ditutup”, katanya. Sebab, memasuki 18 tahun, maka kasus Munir akan daluwarsa, sehingga kasus itu akan ditutup.

Karena itu, “para pelaku man behind the gun akan mendapatkan kebebasan dengan mudah jika kasus ini ditutup”, tambah Arif. Itulah yang kemudian mendorong KASUM untuk menerbitkan legal opinion, supaya kasus Munir dimasukkan ke dalam kasus pelanggaran HAM berat, sehingga dapat diteruskan sampai dalang pembunuhnya ditemukan.

Apalagi, berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta (TPF), tak kunjung rampungnya kasus ini lantaran adanya keterlibatan negara dalam pembunuhan Munir. “Diduga BIN (Badan Intelejen Negara) terlibat dalam perencanaan pembunuhan Munir”, terang Usman yang tergabung dalam TPF kasus Munir.

Karenanya, Usman menuntut keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan kasus ini. “Serangan pembela HAM selalu berulang dan tidak berhenti selama tidak ada akuntabilitas yang tuntas dari negara dalam menangani kasus (Munir) ini”, tegasnya.

Di sisi lain, hal senada juga diutarakan oleh Fatia. Ia pun mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menangani kasus pelanggaran HAM. Pasalnya, dokumen TPF sebagai dokumen publik, yang mestinya segera dipublikasi oleh negara, justru sampai sekarang belum juga dipublikasikan. Karena itu, Fatia menyayangkan akuntabilitas dan transparansi negara dalam penanganan kasus HAM.

Untuk itu, di akhir siaran pers, Fatia mengajak agar menjadikan Munir sebagai simbol perjuangan HAM, sehingga kasus Munir tidak boleh ditutup selama dalang sebenarnya belum ditemukan dan diadili.

Adapun, dalam KASUM sendiri diwakili oleh 11 organisasi, diantaranya Amnesty International Indonesia (AII), Asia Justice and Rights (AJAR), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Human Right Watch (HRW), Imparsial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lokataru, Omah Munir, Serikat pengajar HAM (SEPAHAM), dan Yayasan Perlindungan Insani Indonesia. (DH)